Tawassul dengan Orang yang Telah Wafat
Tawassul dengan Orang yang Telah Wafat
Tawassul dengan Orang yang Telah Wafat
(Diringkas dari Buku Kajian Tawassul, LBM NU Sby)
Tawassul inilah yang selalu diperselisihkan umat Islam. Diantara ulama yang
memperbolehkan adalah Imam Malik, Imam Ahmad, Imam
Nawawi, Imam Subki, al-Qasthalani (ahli hadis), al-Hakim, al-Hafidz al-Baihaqi,
al-Hafidz al-Thabrani, al-Hafidz al-Haitsami, Ibnu Hajar al-Haitami,
al-Karmani, al-Jazari, Ibnu al-Hajj, al-Sumhudi dan masih banyak lagi ulama
lain yang memperbolehkannya.
Namun ada pula sebagian kecil golongan yang
melarangnya, seperti kelompok Wahhabi dan yang sepaham dengannya. Sedangkan
Ibnu Taimiyah yang tergolong ulama besar dari kalangan Wahhabi tidak sepenuhnya
melarang tawassul dengan Rasulullah e atau dengan yang lain. Menurutnya, jika tawassul
kepada Nabi Muhammad e dimaksudkan sebagai bentuk rasa keimanan dan
kecintaan kepadanya maka diperbolehkan. Berikut petikannya:
وَإِذَا حُمِّلَ عَلَى هٰذَا الْمَعْنَى لِكَلَامِ مَنْ تَوَسَّلَ
بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بَعْدَ مَمَاتِهِ مِنَ السَّلَفِ كَمَا نُقِلَ عَنْ بَعْضِ
الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَعَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ وَغَيْرِهِ كَانَ هَذَا
حَسَناً وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ يَكُوْنُ فِي الْمَسْأَلَةِ نِزَاعٌ )قاعدة جليلة في التوسل والوسيلة ۲/۱۱۹(
“Jika ucapan orang-orang dari kalangan ulama
salaf yang bertawassul kepada Rasullah e setelah beliau wafat diarahkan pada
pengertian ini (tawassul karena iman dan cinta pada Rasulullah) seperti yang
dikutip dari sebagian sahabat, Tabiin, Imam Ahmad dan sebagainya, maka hukumnya
bagus dan tidak ada pertentangan”. (al-Tawassul wa al-Wasilah II/119)
a.
Riwayat al-Thabrani
Diriwayatkan oleh
Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al Kabir dan al-Ausath pada
redaksi hadits yang sangat panjang dari Anas, bahwa ketika Fatimah binti Asad
bin Hasyim (Ibu Sayyidina Ali) wafat, maka Rasulullah e turut menggali makam
untuknya dan Rasul masuk ke dalam liang lahadnya sembari merebahkan diri di
dalam liang tersebut dan beliau berdoa:
أَللهُ الَّذِيْ
يُحْيِىْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوْتُ اِغْفِرْ لِأُمِّيْ فَاطِمَةَ
بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ
نَبِيِّكَ وَالْأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِيْ فَإِنَّكَ أَرْحَمُ
الرَّاحِمِيْنَ )رواه الطبراني
وابو نعيم فى حلية الأولياء عن انس(
“Allah yang menghidupkan
dan mematikan. Allah maha hidup, tidak akan mati. Ampunilah ibuku,
Fatimah binti Asad, tuntunlah hujjahnya dan lapangkan kuburnya, dengan haq
Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Sesungguhnya Engkau dzat yang paling mengasihi”. (HR al-Thabrani dan Abu
Nuaim dari Anas)
Ahli hadits al-Hafidz al-Haitsami
mengomentari hadits tersebut:
رَوَاهُ
الطَّبْرَانِيُّ فِي الْكَبِيْرِ وَالْاَوْسَطِ وَفِيْهَ رَوْحُ بْنُ صَلاَحٍ
وَثَّقَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَفِيْهِ ضُعْفٌ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ
رِجَالُ الصَّحِيْحِ )مجمع الزوائد
ومنبع الفوائد ۹/۲۱۰(
“Diriwayatkan oleh
Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir dan al-Ausath, salah satu perawinya
adalah Rauh bin Shalah, ia dinilai terpercaya oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim,
tetapi ia dlaif, sedangkan yang lain adalah perawi-perawi sahih”. (Majma’ al-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid,
IX/210)
Sayid Muhammad bin Alawy al-Maliki berkata:
وَاخْتَلَفَ
بَعْضُهُمْ فِى رَوْحِ بْنِ صَلاَحٍ اَحَدِ رُوَاتِهِ وَلَكِنَّ ابْنَ حِبَّانَ
ذَكَرَهُ فِى الثِّقَاتِ وَقَالَ الْحَاكِمُ ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ وَقَالَ
الْهَيْثَمِىُّ فِى مَجْمَعِ الزَّوَائِدِ وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيْحِ.
وَرَوَاهُ كَذَلِكَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنُ اَبِي
شَيْبَةَ عَنْ جَابِرٍ وَاَخْرَجَهُ الدَّيْلَمِيُّ وَاَبُوْ نُعَيْمٍ فَطُرُقُهُ
يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا بِقُوَّةٍ وَتَحْقِيْقٍ . قَالَ الشَّيْخُ الْحَافِظُ
الْغُمَّارِى فِى اتِّحَافِ اْلاَذْكِيَاءِ ص ۲۰، وَرَوْحٌ هٰذَا ضُعْفُهُ
خَفِيْفٌ عِنْدَ مَنْ ضَعَّفَهُ كَمَا يُسْتَفَادُ مِنْ عِبَارَاتِهِمْ وَلِهَذَا
عَبَّرً الْهَيْثَمِى بِمَا يُفِيْدُ خِفَّةَ الضُّعْفِ كَمَا لاَ يَخْفَى عَلَى
مَنْ مَارَسَ كُتُبَ الْفَنِّ فَالْحَدِيْثُ لاَ يَقِلُّ عَنْ رُتْبَةِ الْحَسَنِ
بَلْ عَلَى شَرْطِ ابْنِ حِبَّانَ )كلمة فى التوسل
۱۱(
“Sebagian ulama berbeda pendapat mengenai
salah satu perawinya, Rauh bin Shalah, namun Ibnu Hibban menggolongkannya
sebagai orang-orang terpercaya dalam kitab al-Tsiqat, dan al-Hakim berkata: “Ia
terpercaya dan amanah. Al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid: “Perawinya
adalah perawi-perawi sahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abdi al-Barr
dari Ibnu Abbas, Ibnu Abi Syaibah dari Jabir, dan ditakhrij oleh al-Dailami dan
Abu Nuaim. Maka, jalur-jalur riwayat hadis ini saling menguatkan antara satu
dan lainnya. Al-Hafidz al-Ghummari berkata dalam Ittihaf al-Adzkiya' hal. 20: “Perawi
Rauh ini tingkat kedlaifannya rendah bagi ulama yang menilainya dlaif, hal ini
diketahui dari redaksi penilaian mereka tentang Rauh. Oleh karena-nya, al-Haitsami menilai dengan redaksi yang ringan (فيه ضعف)
sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang mempelajari ilmu ini (al-Jarh wa
al-Ta'dil). Dengan demikian, hadis ini tidak kurang dari status hadis
Hasan bahkan sesuai kriteria kesahihan Ibnu Hibban”. (Kalimat fi al-Tawassul,
20)
b. Riwayat Ibnu Hibban
عَلَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيْقَ t أَنْ
يَقُوْلَ اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِمُحَمَّدٍ نَبِيِّكَ وَإِبْرَاهِيْمَ
خَلِيْلِكَ وَمُوْسٰى نَجِيِّكَ وَعِيْسٰى كَلِمَتِكَ وَرُوْحِكَ وَبِتَوْرَاةِ
مُوْسٰى وَإِنْجِيْلِ عِيْسٰى وَزَبُوْرِ دَاوُدَ وَفُرْقَانِ مُحَمَّدٍ صلى
الله عليه وسلم وَعَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ
..... الْحَدِيْثَ
“Rasulullah e mengajarkan doa kepada Abu Bakar al-Shiddiq:
Ya Allah. Saya meminta kepada-Mu dengan Muhammad Nabi-Mu, Ibrahim kekasih-Mu,
Musa yang Engkau selamatkan, Isa kalimat dan yang Engkau tiupkan ruh-Mu, dan
dengan Taurat Musa, Injil Isa, Zabur Dawud dan al-Quran Muhammad. Semoga Allah
memberi shalawat dan salam kepada semuanya….”.
Hadits ini dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam
kitab Ihya', dan al-Hafidz Zainuddin al-Iraqi mengo-mentari status hadis di
atas:
فِي الدُّعَاءِ
لِحِفْظِ الْقُرْآنِ رَوَاهُ أَبُوْ الشَّيْخِ ابْنُ حِبَّانَ فِي كِتَابِ
الثَّوَابِ مِنْ رِوَايَةِ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ هَارُوْنَ بْنِ عَبْثَرَةَ عَنْ
أَبِيْهِ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ إِنِّيْ
أَتَعَلَّمُ الْقُرْآنَ وَيَنْفَلِتُ مِنِّيْ فَذَكَرَهُ وَعَبْدُ الْمَلِكِ
وَأَبُوْهُ ضَعِيْفَانِ وَهُوَ مُنْقَطِعٌ بَيْنَ هَارُوْنَ وَأَبِيْ بَكْرٍ )تخريج أحاديث الإحياء ۳/۳۹(
“Hadits tersebut adalah doa untuk menghafal Al
Quran, diriwayatkan oleh Abu Syaikh Ibnu Hibban dalam kitab al-Tsawab dari
Abdul Malik bin Harun bin ‘Abtsarah, dari bapaknya bahwa Abu Bakar datang
kepada Nabi untuk mempelajari Al Quran…. Abdul Malik dan bapaknya adalah dlaif,
dan hadis ini terputus antara Harun dan Abu Bakar" (Takhrij Ahadits al-Ihya’, III/39)
Kendatipun hadits ini dla’if, namun
tetap diperbolehkan untuk diamalkan. Sebab beberapa hadits sahih
menjelaskan tentang tawassul, sehingga hadis ini masuk ke dalam koridor
tersebut. Karena diantara syarat mengamalkan hadits dla’if adalah tidak
bertentangan dengan dalil Al Quran maupun hadits sahih, sebagaimana
telah diketahui dalam ilmu hadis.
Dengan demikian, bertawassul dengan
orang yang telah wafat diperbolehkan, karena Rasulullah e dalam dua hadits di atas bertawassul
dengan para nabi sebelum beliau yang kesemuanya telah wafat kecuali Nabi Isa u.
Rasulullah e Mengajarkan Tawassul
Ternyata tawassul tidak hanya diperbolehkan
saja, namun pernah diajarkan oleh Rasulullah yang berarti menunjukkan makna
sunnah. Hal ini dapat dilihat dalam hadits berikut ini:
عَنْ عُثْمَانَ
بْنِ حُنَيْفٍ t أَنَّ رَجُلاً ضَرِيْرَ الْبَصَرِ أَتَى
النَّبِيَّ صلى
الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ عَلِّمْنِيْ دُعَاءً أَدْعُوْ بِهِ
يَرُدُّ اللهُ عَلَيَّ بَصَرِيْ، فَقَالَ لَهُ قُلِ اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ
وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ
قَدْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلٰى رَبِّيْ أَللّٰهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ وَشَفِّعْنِيْ
فِيْ نَفْسِيْ فَدَعَا بِهٰذَا الدُّعَاءِ فَقَامَ وَقَدْ أَبْصَرَ
“Dari
Utsman bin Hunaif: “Suatu hari seorang yang buta datang kepada Rasulullah e berkata: “Wahai
Rasulullah, ajarkan saya sebuah doa yang akan saya baca agar Allah
mengembalikan penglihatan saya”. Rasulullah berkata: “Bacalah doa (artinya): “Ya
Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang
penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan
minta Tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat
untukku dan berilah aku syafaat. Kemudian ia berdoa dengan doa tersebut, ia
berdiri dan telah bisa melihat”. (HR. Hakim dalam al-Mustadrak).
Beliau mengatakan
bahwa hadits ini adalah shahih dari segi sanad walaupun Imam Bukhari
dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam Dzahabi mengatakatan
bahwa hadits ini adalah shahih, demikian juga Imam Turmudzi dalam kitab Sunannya
bab Daa'wat mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan shahih gharib.
Dalam riwayat
Turmudzi disebutkan bahwa Utsman berkata: “Demi Allah kami belum lagi
bubar dan belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang kembali
dengan segar bugar”.
Dan Imam Mundziri
dalam kitabnya at-Targhib Wa at-Tarhib, 1/438, mengatakan bahwa hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah dan Imam Khuzaimah dalam kitab shahihnya).
Ada dua hal yang dapat diambil kesimpulan dari hadits ini, bahwa:
1.
Doa tersebut memang benar-benar dibaca oleh orang yang buta, bukan didoakan oleh Rasulullah e. Sementara Nasiruddin al-Albani (ulama Wahhabi) berpendapat bahwa orang
buta tadi sembuh karena didoakan oleh Rasulullah. Pendapat ini sama sekali
tidak ada dasarnya dan bertentangan dengan riwayat al-Hakim diatas. Hal ini
dikarenakan setelah al-Albani tidak mampu melemahkan hadits ini secara sanad,
lantas al-Albani dan kelompoknya berupaya untuk mengaburkan makna teks hadits
tersebut dengan menyatakan bahwa doa itu dibacakan oleh Rasulullah. Hali itu
dilakukan karena ia telah terlanjur melarang tawassul, sehingga ia
memalingkan makna hadits di atas dengan berdasarkan nafsunya.
2.
Rasulullah mengajarkan doa bertawassul dengan menyebut nama beliau
di atas tidak hanya berlaku bagi orang buta tersebut dan di masa Rasul hidup
saja, sebab Rasulullah tidak membatasinya. Dan seandainya tawassul
setelah Rasulullah wafat dilarang, maka sudah pasti Rasulullah akan melarangnya
dan menyatakan bahwa doa ini hanya boleh dibaca oleh orang buta tersebut ketika
Rasul masih hidup, sebagaimana dalam masalah penyembelihan hewan qurban yang
hanya dikhususkan kepada Abu Burdah saja, yaitu sabda Rasulullah e:
ضَحِّ
بِالْجَذَعِ مِنَ الْمَعْزِ وَلَنْ تَجْزِئَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ )رواه
البخارى ومسلم عن أبى سعيد الخذرى(
“Sembelihlah
kambing usia satu tahun itu, dan hal itu tidak berlaku lagi bagi orang lain
selain kamu”.
(HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abi Sa'id al-Khudri)
Shahabat Mengajarkan Tawassul
1. Utsman
bin Hunaif
عَنْ عُثْمَانَ
بْنِ حُنَيْفٍ t أَنَّ رَجُلاً كَانَ يَخْتَلِفُ إِلَى
عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ t فِيْ حَاجَتِهِ وَكَانَ عُثْمَانُ لَا
يَلْتَفِتُ إِلَيْهِ وَلَا يَنْظُرُ فِيْ حَاجَتِهِ فَلَقِيَ ابْنَ حُنَيْفٍ
فَشَكَا ذَلِكَ إِلَيْهِ فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ ائْتِ الْمِيْضَأَةَ
فَتَوَضَّأْ ثُمَّ ائْتِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ اللّٰهُمَّ إِنِّيْ
أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا
مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فَيَقْضِيْ لِيْ حَاجَتِيْ وَتَذْكُرُ
حَاجَتَكَ حَتَّى أَرْوَحَ مَعَكَ، فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ فَصَنَعَ مَا قَالَ لَهُ
ثُمَّ أَتَى بَابَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ t فَجَاءَهُ الْبَوَّابُ حَتَّى أَخَذَ بِيَدِهِ
فَأَدْخَلَهُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَأَجْلَسَهُ مَعَهُ عَلَى الطِّنْفِسَةِ
فَقَالَ حَاجَتُكَ فَذَكَرَ حَاجَتَهُ وَقَضَاهَا لَهُ )رواه الطبرانى
فى المعجم الكبير والبيهقى في دلائل النبوة(
“Diriwayatkan dari
Utsman bin Hunaif (perawi hadis yang menyaksikan orang buta bertawassul kepada
Rasulullah) bahwa ada seorang laki-laki datang kepada (Khalifah) Utsman bin
Affan untuk memenuhi hajatnya, namun sayidina Utsman tidak menoleh ke arahnya
dan tidak memperhatikan kebutuhannya. Kemudian ia bertemu dengan Utsman bin Hunaif
(perawi) dan mengadu kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata: Ambillah air wudlu'
kemudian masuklah ke masjid, salatlah dua rakaat dan bacalah: “Ya Allah
sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui nabi-Mu yang penuh
kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta
Tuhanmu melaluimu agar hajatku dikabukan. Sebutlah apa kebutuhanmu”. Lalu lelaki tadi melakukan apa yang
dikatakan oleh Utsman bin Hunaif dan ia memasuki pintu (Khalifah) Utsman bin
Affan. Maka para penjaga memegang tangannya dan dibawa masuk ke hadapan Utsman
bin Affan dan diletakkan di tempat duduk. Utsman bin Affan berkata: Apa
hajatmu? Lelaki tersebut menyampaikan hajatnya, dan Utsman bin Affan memutuskan
permasalahannya”. (HR. Al-Thabrani dalam
al-Mu'jam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah)
Ulama Ahli hadits
al-Hafidz al-Haitsami berkata:
وَقَدْ قَالَ
الطَّبْرَانِيُّ عَقِبَهُ وَالْحَدِيْثُ صَحِيْحٌ بَعْدَ ذِكْرِ طُرُقِهِ الَّتِيْ
رَوٰى بِهَا )مجمع الزوائد
ومنبع الفوائد ۲/۵۶۵(
“Dan sungguh al-Thabrani berkata (setelah al-Thabrani menyebut
semua jalur riwayatnya): Riwayat ini sahih”. (Majma’ al-Zawaid,
II/565)
Perawi hadits ini, Utsman bin Hunaif, telah
mengajarkan tawassul kepada orang lain setelah Rasulullah e wafat. Dan kalaulah tawassul kepada
Rasulullah dilarang atau bahkan dihukumi syirik maka tidak mungkin seorang
sahabat akan mengajarkan hal-hal yang menyimpang dari ajaran Rasulullah e, karena ia hidup di kurun waktu terbaik,
yaitu sebagai sahabat Nabi.
Sayid Muhammad bin Alawi
al-Maliki berkata:
هَذِهِ
الْقِصَّةُ صَحَّحَهَا الْحَافِظُ الطَّبْرَانِيُّ وَالْحَافِظُ اَبُوْ عَبْدِ
اللهِ الْمَقْدِسِيِّ وَنَقَلَ ذَلِكَ التَّصْحِيْحَ الْحَافِظُ الْمُنْذِرِيُّ
وَالْحَافِظُ نُوْرُ الدِّيْنِ الْهَيْثَمِيُّ )كلمة فى التوسل
۷(
“Kisah ini disahihkan
oleh al-Hafidz al-Thabrani dan al-Hafidz Abu Abdillah al-Maqdisi, dikutip oleh
al-Hafidz al-Mundziri dan al-Hafidz Nuruddin al-Haitsami”. (Kalimat fi al-Tawassul, 7)
Ibnu Taimiyah mengutip doa tawassul
seperti diatas dan ia mengatakan bahwa ulama salaf membacanya, yaitu:
رَوَى ابْنُ
أَبِي الدُّنْيَا فِيْ كِتَابِ مُجَابِي الدُّعَاءِ قَالَ:
حَدَّثَنَا أَبُوْ هَاشِمٍ سَمِعْتُ كَثِيْرَ بْنَ مُحَمَّدِ بْنِ كَثِيْرِ بْنِ
رِفَاعَةَ يَقُوْلُ جَاءَ رَجُلٌ إلَى عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ سَعِيْدِ بْنِ
أَبْجَرَ فَجَسَّ بَطْنَهُ فَقَالَ بِكَ دَاءٌ لَا يَبْرَأُ. قَالَ مَا هُوَ؟
قَالَ الدُّبَيْلَةُ. قَالَ فَتَحَوَّلَ الرَّجُلُ فَقَالَ اللهَ اللهَ اللهَ رَبِّيْ
لَا أُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا اللّٰهُمَّ إنِّيْ أَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ
مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ صلى الله عليه وسلم تَسْلِيْمًا
يَا مُحَمَّدُ إنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ وَرَبِّيْ يَرْحَمُنِيْ
مِمَّا بِيْ. قَالَ فَجَسَّ بَطْنَهُ فَقَالَ قَدْ بَرِئَتْ مَا بِكَ عِلَّةٌ.
قُلْتُ فَهَذَا الدُّعَاءُ وَنَحْوُهُ قَدْ رُوِيَ أَنَّهُ دَعَا بِهِ السَّلَفُ
وَنُقِلَ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ فِيْ مَنْسَكِ الْمَرْوَذِيِّ التَّوَسُّلُ
بِالنَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم فِي الدُّعَاءِ وَنَهَى عَنْهُ آخَرُوْنَ )مجموع الفتاوى ۱/۲۶۴
وقاعدة
جليلة في التوسل والوسيلة ۲/۱۹۹(
“Ibnu
Abi al-Dunya meriwayatkan dari Katsir bin Muhammad, Ada seorang laki-laki datang ke Abdul Malik
bin Said bin Abjar. Abdul Malik memegang perutnya dan berkata: “Kamu mengidap
penyakit yang tidak bisa disembuhkan”. Lelaki itu bertanya: “Penyakit apa?” Ia
menjawab: “Penyakit dubailah (semacam tumor dalam perut)”. Kemudian laki-laki
tersebut berpaling dan berdoa: “Allah Allah Allah.. Tuhanku, tiada suatu apapun
yang yang menyekutuinya. Ya Allah, saya menghadap kepadaMu dengan nabiMu
Muhammad Nabi yang rahmah Saw. Wahai Muhammad saya menghadap pada Tuhanmu
denganmu (agar) Tuhanku menyembuhkan penyakitku”. Lalu Abdul Malik memegang
lagi perutnya dan ia berkata: “Penyakitmu telah sembuh”. Saya (Ibnu Taimiyah)
berkata: “Doa semacam ini diriwayatkan telah dibaca oleh ulama salaf, dan
diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal dalam al-Mansak al-Marwadzi bahwa beliau
bertawassul dengan Rasulullah dalam doanya. Namun ulama yang lain melarang
tawassul”.
(Majmu' al-Fatawa, I/264, dan al-Tawassul wa al-Wasilah, II/199)
2. Bilal bin Haris
al-Muzani
وَرَوَى اِبْنُ أَبِيْ
شَيْبَةَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ مِنْ رِوَايَةِ أَبِيْ صَالِحٍ السَّمَّانِ عَنْ
مَالِك الدَّارِيِّ - وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ - قَالَ أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ
زَمَنِ عُمَرَ فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ
اللهِ اِسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا فَأَتَى الرَّجُلَ فِيْ
الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ اِئْتِ عُمَرَ ... الْحَدِيْثَ. وَقَدْ رَوَى سَيْفٌ فِي
الْفُتُوْحِ أَنَّ الَّذِيْ رَأَى الْمَنَامَ الْمَذْكُورَ هُوَ بِلَالُ بْنُ الْحَارِثِ
الْمُزَنِيُّ أَحَدُ الصَّحَابَةِ )ابن حجر فتح الباري ۳/۴۴۱
وابن عساكر تاريخ دمشق ۵۶/۴۸۹(
“Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan hadis dengan sanad yang sahih dari Abi Shaleh Samman, dari Malik
al-Dari (Bendahara Umar), ia berkata: Telah terjadi musim kemarau di masa Umar,
kemudia ada seorang laki-laki (Bilal bin Haris al-Muzani) ke makam Rasulullah
Saw, ia berkata: Ya Rasullah, mintakanlah hujan untuk umatmu, sebab mereka akan
binasa. Kemudian Rasulullah datang kepada lelaki tadi dalam mimpinya, beliau
berkata: Datangilah Umar…. Saif meriwayatkan dalam kitab al-Futuh lelaki
tersebut adalah Bilal bin Haris al-Muzani salah satu Sahabat Rasulullah”. (Ibnu Hajar, Fathul Bari, III/441, dan Ibnu
'Asakir, Tarikh Dimasyqi, 56/489)
Bentuk tawassul dalam riwayat ini adalah
seruan memanggil nama Rasulullah dan meminta pertolongan kepada beliau.
Sementara menurut al-Albani dan aliran Wahhabi, menyeru kepada orang yang telah
meninggal dihukumi syirik. Padahal umat Islam senantiasa berseru kepada
Rasulullah e setiap kali melakukan tachiyat dalam
salat:
السَّلَامُ
عَلَيْك أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا
وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ )أخرجه ابن ماجه
۹۰۲ والنسائي ۲/۲۴۳ قال الدارقطني والبيهقي إسناده صحيح(
“Semoga keselamatan,
rahmat, dan berkah atas dirimu wahai Nabi. Dan semoga keselamatan atas kami
serta para hamba yang salih”.
3.
Aisyah Istri Rasulullah e
حَدَّثَنَا
أَبُوْ النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا سَعِيْدُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ
مَالِكٍ النُّكْرِي حَدَّثَنَا أَوْسُ بْنُ عَبْدِ اللهِ قُحِطَ أَهْلُ الْمَدِيْنَةِ
قَحْطاً شَدِيْداً، فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ انْظُرُوْا قَبْرَ
النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم
فَاجْعَلُوْا مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى لَا يَكُوْنَ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ. قَالَ فَفَعَلُوْا فَمُطِرْنَا مَطَراً حَتَّى نَبَتَ
الْعُشْبُ وَسَمِنَتِ الْإِبِلُ حَتَّى تَفَتَّقَتْ مِنَ الشَّحْمِ فَسُمِّىَ
عَامَ الْفَتْقِ )رواه
الدارمي(
“Dari
Aus bin Abdullah: “Suatu hari kota Madinah mengalami kemarau panjang, lalu
datanglah penduduk Madinah ke Aisyah (janda Rasulullah e) mengadu tentang
kesulitan tersebut, lalu Aisyah berkata: “Lihatlah kubur Nabi Muhammad e lalu bukalah
sehingga tidak ada lagi atap yang menutupinya dan langit terlihat langsung”, lantas
mereka pun melakukan itu kemudian turunlah hujan lebat sehingga rumput-rumput
tumbuh dan onta pun gemuk, maka disebutlah itu tahun gemuk”. (HR. Imam Darimi)
Kitab Musnad
as-Shahabah menjelas-kan status atsar di atas sebagai berikut:
قَالَ الشَّيْخُ حُسَيْنٌ أَسَدٌ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ وَهُوَ مَوْقُوْفٌ عَلَى عَائِشَةَ )مسند الصحابة في الكتب التسعة ۱۳/۷۶(
“Syaikh Husain berkata: “Perawinya adalah orang-orang terpercaya”. Riwayat tersebut
bersumber dari Aisyah”.
(Musnad al-Shahabat, XIII/76)
Sayid Muhammad bin Alawy mentakhrij riwayat
diatas:
اَمَّا اَبُوْ
النُّعْمَانِ فَهُوَ مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ الْمُلَقَّبُ بِعَارِمٍ شَيْخُ
الْبُخَارِيِّ، قَالَ الْحَافِظُ فِى التَّقْرِيْبِ ثِقَةٌ ثَبْتٌ تَغَيَّرَ فِىْ
اَخِرِ عُمْرِهِ وَهَذَا لَا يَضُرُّهُ وَلَا يَقْدَحُ فِىْ رِوَايَتِهِ لِاَنَّ
الْبُخَارِيَ رَوٰى لَهُ فِى صَحِيْحِهِ اَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ حَدِيْثٍ. وَاَمَّا
سَعِيْدُ بْنُ زَيْدٍ فَهُوَ صَدُوْقٌ لَهُ اَوْهَامٌ وَكَذٰلِكَ حَالُ عَمْرِو
بْنِ مَالِكٍ النُّكْرِيِّ كَمَا قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ عَنْهُمَا فِى
التَّقْرِيْبِ وَقَدْ قَرَّرَ الْعُلَمَاءُ بِأَنَّ هٰذِهِ الصِّيْغَةَ وَهِيَ
صَدُوْقٌ يُهِمُّ مِنْ صِيَغِ التَّوْثِيْقِ لَا مِنْ صِيَغِ التَّضْعِيْفِ كَمَا
فِى تَدْرِيْبِ الرَّاوِي. وَاَمَّا اَبُوْ الْجَوْزَاءِ فَهُوَ اَوْسُ بْنُ عَبْدِ
اللهِ الرِّبْعِيِّ وَهُوَ ثِقَةٌ مِنْ رِجَالِ الصَّحِيْحَيْنِ. فَهُوَ سَنَدٌ لَا
بَأْسَ بِهِ بَلْ هُوَ جَيِّدٌ عِنْدِيْ )كلمة فى التوسل
۱۳(
“Abu Nu’man adalah Muhammad
bin Fadl yang bergelar Arim adalah guru al-Bukhari, al-Hafidz Ibnu Hajar
menilainya dalam kitab Taqrib sebagai orang terpercaya dan kokoh namun ada
perubahan dalam akhir umurnya. Tetapi hal ini tidak mempengaruhi riwayatnya
karena al-Bukhari telah mengutip dalam kitab Sahihnya lebih dari 100 hadis.
Adapun Said bin Zaid dan Amr bin Malik al-Nukri dinilai oleh al-Hafidz Ibnu
Hajar menilainya dalam kitab Taqrib sebagai orang yang sangat jujur namun
memiliki praduga-praduga. Redaksi seperti ini adalah bentuk penilaian positif
bukan penilaian melemahkan, sebagaimana dalam kitab Tadrib al-Rawi (Jalaluddin
al-Suyuthi). Sedangkan Abu al-Jauza’ adalah Aus bin Abdillah al-Rib’i, ia
adalah orang terpercaya dan perawi hadis al-Bukhari dan Muslim. Dengan
demikian, sanad riwayat ini tidak lemah justru sanad yang bagus bagi saya”. (Kalimat fi al-Tawassul, 13)
Tawassul Kepada Rasulullah e Sebelum Lahir
Imam Hakim an-Naisabur meriwayatkan dari Umar berkata,
bahwa Nabi bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم
لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمُ الْخَطِيْئَةَ قَالَ يَا رَبِّىْ إِنِّىْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ
مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِىْ، فَقَالَ اللهُ: يَا آدَمُ كَيْفَ عَرَفْتَ
مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقْهُ؟ قَالَ: يَا رَبِّى لِأَنَّكَ
لَمَّا خَلَقْتَنِىْ بِيَدِكَ وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأْسِىْ
فَرَأَيْتُ عَلَى قَوَائِمِ الْعَرْشِ مَكْتُوْبًا لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ
مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فَعَلِمْتُ أَنَّكَ لَمْ تُضِفْ إِلَى اسْمِكَ إِلَّا
أَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ، فَقَالَ اللهُ: صَدَقْتَ يَا آدَمُ إِنَّهُ لَأَحَبُّ
الْخَلْقِ إِلَيَّ اُدْعُنِى بِحَقِّهِ فَقَدْ
غَفَرْتُ لَكَ وَلَوْلَا مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ (أخرجه الحاكم فى المستدرك وصححه ۲/۶۱۵)
“Rasulullah
e bersabda: “Ketika
Adam melakukan kesalahan, lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku
memintaMu melalui Muhammad agar Kau ampuni diriku”. Lalu Allah berfirman: “Wahai
Adam, darimana engkau tahu Muhammad padahal belum Aku ciptakan?” Adam menjawab:
“Wahai Tuhanku, ketika Engkau ciptakan diriku dengan kekuasaan-Mu dan Engkau
hembuskan ke dalamku sebagian dari ruh-Mu, maka aku angkat kepalaku dan aku
melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis kalimat “Laa ilaaha illallaah
muhamadur rasulullah” maka aku mengerti bahwa Engkau tidak akan mencantumkan
sesuatu dengan nama-Mu kecuali nama mahluk yang paling Engkau cintai”. Allah
menjawab: “Benar Adam, sesungguhnya ia adalah mahluk yang paling Aku cintai,
bredoalah dengan melaluinya maka Aku telah mengampunimu, dan andaikan tidak ada
Muhammad maka tidaklah Aku menciptakanmu”.
(HR.
Hakim dan ia berkata bahwa hadits ini adalah shahih dari segi sanadnya)
Demikian juga pernyataan
Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalail An-Nubuwwah, Imam al-Qasthalany dalam
kitabnya Al-Mawahib, 2/392, Imam Zarqani dalam kitab Syarkhu Al-Mawahib
Laduniyyah, 1/62, Imam Subuki dalam kitabnya Shifa As-Saqam, dan
Imam Suyuti dalam kitabnya Khasais An-Nubuwah, mereka semua mengatakan
bahwa hadits ini adalah shahih.
Tawassul Kepada Rasulullah e Sebelum Menjadi Rasul
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Hakim dari sahabat Ibnu Abbas dinyatakan:
عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَتْ يَهُوْدُ خَيْبَرَ تُقَاتِلُ
غَطَفَانَ فَكُلَّمَا الْتَقَوْا هَزَمَتْ يَهُوْدُ خَيْبَرَ فَعَاذَتِ
الْيَهُوْدُ بِهٰذَا الدُّعَاءِ اللّٰهُمَّ إِنَا نَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ
النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِيْ وَعَدْتَنَا أَنْ تُخْرِجَهُ لَنَا فِيْ آخِرِ
الزَّمَانِ أَلَّا نَصَرْتَنَا عَلَيْهِمْ، قَالَ: فَكَانُوْا إِذَا الْتَقَوْا
دَعَوْا بِهٰذَا الدُّعَاءِ فَهَزَمُوْا غَطَفَانَ فَلَمَّا بُعِثَ النَّبِيُّ صلى الله
عليه وسلم كَفَرُوْا بِهِ فَأَنْزَلَ اللهُ وَقَدْ كَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ
بِكَ يَا مُحَمَّدُ عَلَى الْكَافِرِيْنَ )رواه الحاكم
وقال وهو غريب(
“Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas bahwa Yahudi Khaibar berperang dengan Kabilah Ghathafan. Setiap bertemu
dalam peperang-an, orang Yahudi selalu lari dan meminta pertolongan dengan
berdoa: “Kami meminta kepada-Mu dengan Haq (kedudukan) Muhammad seorang Nabi
yang Ummi, yang Engkau janjikan kepada kami untuk diutus di akhir zaman,
hendaklah Engkau menolong kami”. Maka setiap berperang, Yahudi Khaibar selalu
berdoa dengan doa ini sehingga berhasil memukul mundur pasukan Ghathafan. Dan ketika Rasulullah
diutus, mereka kufur terhadapnya. Kemudian Allah menurunkan ayat 89 surat al-Baqarah
tersebut”.
(HR. Hakim, dia mengatakan hadits ini asing)
Kendatipun al-Hakim
menyebutkan bahwa riwayat ini adalah ghorib (asing) yang tergolong hadis
perorangan (الأحد), namun banyak ahli tafsir yang menjadikannya sebagai asbab
al-nuzul (sebab turun) dari ayat di atas seperti al-Razi dalam tafsir kabir
Mafatih al-Ghaib, al-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf dan sebagainya. Bahkan
Abu Abdurrahman Muqbil, setelah mengutip riwayat ini dari Ibnu Ishaq dan Ibnu
Hisyam, berkata:
وَهُوَ
حَدِيْثٌ حَسَنٌ فَإِنَّ ابْنَ إِسْحَاقَ إِذَا صَرَّحَ بِالتَّحْدِيْثِ
فَحَدِيْثُهُ حَسَنٌ كَمَا ذَكَرَهُ الْحَافِظُ الذَّهَبِيُّ فِي الْمِيْزَانِ.
“Hadits ini adalah hadits
Hasan. Sebab apabila Ibnu Ishaq menjelaskan tentang hadits, maka haditsnya
berstatus Hasan, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafidz al-Dzahabi dalam kitab
al-Mizan”. (Al-Shahih al-Musnad
min Asbab al-Nuzul, I/22)
Berikut ini adalah pernyataan al-Razi dan
Zamakhsyari tentang ayat di atas:
أَمَّا
قَوْلُهُ تَعَالٰى (وَكَانُواْ مِن قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ
كَفَرُوْا) فَفِي سَبَبِ النُّزُوْلِ وُجُوْهٌ أَحَدُهَا أَنَّ الْيَهُوْدَ مِنْ
قَبْلِ مَبْعَثِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَنُزُوْلِ
الْقُرْآنِ كَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ أَيْ يَسْأَلُوْنَ الْفَتْحَ وَالنُّصْرَةَ
وَكَانُوْا يَقُوْلُوْنَ اللّٰهُمَّ افْتَحْ عَلَيْنَا وَانْصُرْنَا بِالنَّبِيِّ
الْأُمِّيِّ )تفسير الرازي
مفاتيح الغيب ۳/۱۶۴(
“Sebab turunnya ayat ini
(al-Baqarah 89) ada banyak versi, salah satunya bahwa Yahudi sebelum diutusnya
Nabi Muhammad dan turunnya Al Quran, senantiasa meminta kemenangan dan
pertolongan. Mereka berkata: “Ya Allah. Berilah kami kemenangan dan
pertolongan dengan Nabi yang Ummi (Muhammad)”. (Tafsir al-Razi,
III/164)
(يَسْتَفْتِحُونَ
عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوْا) يَسْتَنْصِرُوْنَ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ إِذَا
قَاتَلُوْهُمْ قَالُوْا اللّٰهُمَّ انْصُرْنَا بِالنَّبِيِّ الْمَبْعُوْثِ فِيْ
آخِرِ الزَّمَانِ الَّذِيْ نَجِدُ نَعْتَهُ وَصِفَتَهُ فِي التَّوْرَاةِ )تفسير الكشاف
للزمخشري ۱/۱۶۴(
“Yahudi meminta
pertolongan dalam menghadapi kaum musyrikin. Saat berperang Yahudi
berdoa: “Ya Allah. Tolonglah kami dengan seorang Nabi yang akan diutus di akhir
zaman yang telah kami temukan ciri-ciri dan sifatnya dalam Taurat”. (Tafsir al-Kasyaf,
I/164)
Tawassul Kepada Rasulullah e Setelah Wafat
Walaupun Rasulullah e wafat, umat Islam meyakini bahwa
Rasulullah tetap bisa mendoakan kepada umatnya. Sebagaimana
diterangkan dalam sebuah hadits:
قَالَ صلى الله
عليه وسلم حَيَاتِي
خَيْرٌ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ فَإِذَا أَنَا مُتُّ كَانَتْ وَفَاتِيْ خَيْرًا
لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ فَإِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ اللهَ
تَعَالٰى وَإِنْ رَأَيْتُ شَرًّا اِسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ )رواه ابن سعد عن بكر بن عبد
الله مرسلا(
“Hidupku lebih baik dan matiku juga
lebih baik bagi kalian. Jika aku wafat maka kematianku lebih baik bagi kalian.
Amal-amal kalian diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat amal baik, maka aku
memuji kepada Allah. Dan jika aku melihat aml buruk, maka aku mintakan ampunan
bagimu kepada Allah”. (HR. Ibnu Sa’d dari Bakar bin Abdullah secara mursal)
Terkait penilaian hadits ini al-Munawi berkata:
وَرَوَاهُ الْبَزَّارُ مِنْ
حَدِيْثِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ الْهَيْثَمِي وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيْحِ )فيض القدير شرح الجامع
الصغير ۳/۵۳۲(
“Hadits ini
juga diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Ibnu Mas’ud. Al-Haitsami berkata: “Perawinya
adalah perawi-perawi yang sahih”. (Faidl al-Qadir Syarah al-Jami’ al-Shaghir, III/532)
Oleh karena itu, banyak para sahabat
yang mengajarkan tawassul kepada Rasulullah e setelah beliau wafat, seperti
Utsman bin Hunaif, Bilal bin Haris al-Muzani, Aisyah dan lain-lain. Bahkan
penjelasan bahwa orang-orang tertentu (masih hidup) meskipun telah wafat,
dijelaskan langsung oleh Allah dalam al-Quran:
وَلَا
تَقُوْلُواْ لِمَنْ يُقْتَلُ فِيْ سَبيْلِ اللهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ
لَّا تَشْعُرُوْنَ )البقرة:
۱۵۴(
“Dan janganlah
kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka
itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. (Al-Baqarah:154)
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ ﴿أل عمران ۱۶۹﴾
“Janganlah kamu mengira bahwa
orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi
Tuhannya dengan mendapat rezki”.
(Ali Imran 169)
Rasulullah
e
Sebagai Wasilah
Kisah ini berdasarkan riwayat hadits yang sangat panjang.
Ringkasnya, ada seorang paranormal bernama Sawad bin Qarib, selama beberapa
malam ia bermimpi masuk agama Islam, yang pada akhirnya ia datang ke Rasulullah
e dan melantunkan beberapa syair yang diantaranya adalah
sebagai berikut:
فَأَشْهَدُ أَنَّ اللهَ لَا رَبَّ غَيْرَهُ % وَأَنَّكَ مَأْمُوْنٌ عَلَى كُلِّ غَالِبٍ
وَأَنَّكَ أَدْنَى الْمُرْسَلِيْنَ
وَسِيْلَةً %إِلَى اللهِ يَا ابْنَ الْأَكْرَمِيْنَ
الْأَطَائِبِ
وَكُنْ لِيْ شَفِيْعًا يَوْمَ لَا ذُوْ شَفَاعَةٍ % سِوَاكَ بِمُغْنٍ عَنْ سَوَادِ بْنِ
قَارِبٍ
“Maka, aku bersaksi bahwa Allah,
tiada tuhan selain Ia.
Dan
sesungguhnya engkau orang terpercaya atas segala kemenangan. Dan seseungguhnya
engkau (Muhammad) adalah wasilah yang terdekat kepada Allah. Wahai putra
orang-orang mulia nan baik. Jadilah engkau sebagai penolong bagiku saat tiada
yang dapat memiliki pertolongan. Selain engkau tiada dibutuhkan oleh Sawad bin
Qarib”.
فَفَرِحَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَصْحَابُهُ
بِإِسْلَامِيْ فَرْحًا شَدِيْدًا حَتَّى رُئِيَ فِي وُجُوْهِهِمْ، قَالَ: فَوَثَبَ
عُمَرُ فَالْتَزَمَهُ وَقَالَ قَدْ كُنْتُ أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَ هَذَا مِنْكَ
“Sawad bin Qarib berkata: “Rasulullah
dan para sahabat sangat senang dengan keislaman saya. Kemudian Umar melompat
dan merangkulnya. Umar berkata: “Sungguh aku senang mendengar ini darimu”.
Kisah di atas
dikutip dalam Tafsir Ibnu Katsir (7/299)/(4/168 Isa al-Halabi Mesir), al-Mustadrak
(15/227), al-Kabir Thabrani/ Ahadits Thiwal (1/75), Dalail
Nubuwah li al-Baihaqi (1/132), Dalail Nubuwah Abu Nuaim (1/74), Funun
Ajaib Abi Said Naqqasy (1/84), Sirah Nabawiyah Ibnu Katsir
(1/346), Mu’jam Abi Ya’la Al Mushili (1/348), Uyunul Atsar Ibn
Sayydinnas (1/102), Subulul Huda War Rasyad Shalihi Syami (2/209), Al
Wafi bil Wafiyat Abu Fayyadl (5/175), Al Isti’ab fi Ma’rifat Ashhab
(1/104), Tafsir Adlwa’ al Bayan Al Hafidz Zuhair bin Harb Nasa’i/Ta’liq Al
Albani (3/445) Tafsir Nukat Wa Uyun (4/336).
Rasulullah dan para
sahabat tidak mengingkari bahwa Rasulullah adalah wasilah yang paling
utama. Kalau hal ini salah maka sudah pasti Rasulullah dan para
sahabat akan mengatakan salah. Sehingga hadits ini disebut taqrir (ketetapan)
karena disetujui dan diakui oleh Rasulullah sendiri. Dan seandainya status wasilah
Rasulullah hanya berlaku ketika beliau masih hidup, maka sudah pasti Rasulullah
akan berkata semisal: “Ingat, aku hanya
sebagai wasilah ketika aku masih hidup saja! Atau: Jika bertawassul
tidak boleh dengan dzat saya, tapi dengan doa saya!” Tetapi nyatanya Rasulullah
mengakuinya dan tidak memberi batasan. Karenanya dalam kaidah Ushul fiqh
dikatakan:
اِنَّ الْبَيَانَ لاَ
يُؤَخَّرُ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ
“Penjelasan
tentang hukum tidak boleh ditunda di saat penjelasan itu dibutuhkan”. (Al-Talkhish fi
Ushul al-Fiqh, II/208)
Lalu dari mana
pihak yang anti tawassul melarang Rasulullah dijadikan sebagai wasilah
setelah beliau wafat, padahal beliau sendiri tidak pernah menyatakan demikian?
Komentar
Posting Komentar