Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Beliau dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari kamis dinihari 15
Shofar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710 M. Anak pertama dari keluarga
muslim yang taat beragama , yaitu Abdullah dan Siti Aminah. Sejak masa
kecilnya Allah SWT telah menampakkan kelebihan pada dirinya yang
membedakannya dengan kawan sebayanya. Dimana dia sangat patuh dan ta’zim
kepada kedua orang tuanya, serta jujur dan santun dalam pergaulan
bersama teman-temannya. Allah SWT juga menganugrahkan kepadanya
kecerdasan berpikir serta bakat seni, khususnya di bidang lukis dan khat
(kaligrafi).
Pada suatu hari, tatkala Sultan Kerajaan Banjar (Sultan Tahmidullah)
mengadakan kunjungan ke kampung-kampung, dan sampailah ke kampung Lok
Gabang alangkah terkesimanya Sang Sultan manakala melihat lukisan yang
indah dan menawan hatinya. Maka ditanyakanlah siapa pelukisnya, maka
dijawab orang bahwa Muhammad Arsyad lah sang pelukis. Mengetahui
kecerdasan dan bakat sang pelukis, terbesitlah di hati sultan keinginan
untuk mengasuh dan mendidik Muh. Arsyad kecil di istana yang ketika itu
baru berusia ± 7 tahun.
Sultanpun mengutarakan goresan hatinya kepada kedua orang tua Muh.
Arsyad. Pada mulanya Abdullah dan istrinya merasa enggan melepas anaknya
yang tercinta. Tapi demi masa depan sang buah hati yang diharapkan
menjadi anak yang berbakti kepada agama, negara dan orang tua, maka
diterimalah tawaran sultan tersebut. Kepandaian Muh. Arsyad dalam
membawa diri, sifatnya yang rendah hati, kesederhanaan hidup serta
keluhuran budi pekertinya menjadikan segenap warga istana sayang dan
hormat kepadanya. Bahkan sultanpun memperlakukannya seperti anak kandung
sendiri.
Setelah dewasa beliau dikawinkan dengan seorang perempuan yang
solehah bernama tuan “BAJUT”, seorang perempuan yang ta’at lagi berbakti
pada suami sehingga terjalinlah hubungan saling pengertian dan hidup
bahagia, seiring sejalan, seia sekata, bersama-sama meraih ridho Allah
semata. Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di
hati Muh. Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah
suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri
tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang
masih muda, akhirnya Siti Aminah mengamini niat suci sang suami dan
mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari
sultan berangkatlah Muh. Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan
cita-citanya.Deraian air mata dan untaian do’a mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muh. Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada
masa itu. Diantara guru beliau adalah Syekh ‘Athoillah bin Ahmad al
Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi dan al ‘Arif
Billah Syekh Muhammad bin Abd. Karim al Samman al Hasani al Madani.
Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muh. Arsyad di bidang
tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muh. Arsyad melakukan suluk dan
khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai
khalifah.
Menurut riwayat, Khalifah al Sayyid Muhammad al Samman di Indonesia
pada masa itu, hanya empat orang, yaitu Syekh Muh. Arsyad al Banjari,
Syekh Abd. Shomad al Palembani (Palembang), Syekh Abd. Wahab Bugis dan
Syekh Abd. Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan “Empat
Serangkai dari Tanah Jawi” yang sama-sama menuntut ilmu di al Haramain
al Syarifain.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan
kampung halaman. Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang
diarak barisan pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung
pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang
akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu
sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H
bertepatan 1772 M, sampailah Muh. Arsyad di kampung halamannya Martapura
pusat Kerajaan Banjar pada masa itu.
Sultan Tamjidillah (Raja Banjar) menyambut kedatangan beliau dengan
upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai
seorang ulama “Matahari Agama” yang cahayanya diharapkan menyinari
seluruh Kerajaan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci
dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya.
Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan,
sultanpun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang
‘alim lagi wara’.
Dalam menyampaikan ilmunya Syekh Muh. Arsyad mempunyai beberapa
metode, di mana antara satu dengan yang lain saling menunjang. Adapun
metode-metode tersebut, yaitu:
- Bil-hal
Keteladanan yang baik (uswatun hasanah)yang direfleksikan dalam
tingkah-laku, gerak-gerik dan tutur-kata sehari-hari dan disaksikan
secara langsung oleh murid-murid beliau.
- Bil-lisan
Dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat dan handai taulan.
- Bil-kitabah
Menggunakan bakat yang beliau miliki di bidang tulis-menulis, sehingga
lahirlah lewat ketajaman penanya kitab-kitab yang menjadi pegangan umat.
Buah tangannya yang paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin
Littafaqquh Fiddin, yang kemasyhurannya sampai ke Malaysia, Brunei dan
Pattani (Thailand selatan).
Setelah ± 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di wilayah
Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H (1812 M)
Allah SWT memanggil Syekh Muh. Arsyad ke hadirat-Nya. Usia beliau 105
tahun dan dimakamkan di desa Kalampayan, sehingga beliau juga dikenal
dengan sebutan Datuk Kalampayan.
Komentar
Posting Komentar