Dalil Dalil Tawassul yang diambil oleh Wahaby
Tentang Tawassul
Pertanyaan:
assalamu'alaikum...
ustadz, ana bertanya.
apakah tawasul diperbolehkan atau dilarang?
apakah tawasul ini menyangkut aqidah? (@Juliswan)
ustadz, ana bertanya.
apakah tawasul diperbolehkan atau dilarang?
apakah tawasul ini menyangkut aqidah? (@Juliswan)
Jawaban:
|
|
Wa
‘Alaikum salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash
Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah,
wa ba’d:
Masalah ini menjadi ajang
perdebatan umat Islam sejak lama, baik ulama atau orang awam. Sebelumnya kita
lihat dulu makna tawassul, berikut ini:
التَّوَسُّل
لُغَةً : التَّقَرُّبُ . يُقَال : تَوَسَّل الْعَبْدُ إِلَى رَبِّهِ بِوَسِيلَةٍ
إِذَا تَقَرَّبَ إِلَيْهِ بِعَمَلٍ . وَفِي
التَّنْزِيل : { وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ }
Makna tawassul menurut bahasa adalah taqarrub
(mendekat). Dikatakan: “Seorang hamba mendekatkan (tawassala) diri
kepada Rabbnya dengan wasilah (perantara/sarana/jalan), mendekatkan diri
kepadaNya dengan amal perbuatan.” Di
dalam Al Quran: dan carilah jalan (al wasilah) yang mendekatkan diri
kepada-Nya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/69)
Jadi, manusia diperintahkan untuk mencari wasilah
yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Ini adalah dalil umum dibolehkannya
tawassul. Namun, yang menjadi objek masalahnya adalah tawassul
yang bagaimanakah itu?
Pembicaraan tawassul, untuk selanjutnya, menjadi lebih
spesifik lagi, yakni akan identik dengan berdoa melalui perantara. Itulah makna
yang sering dibahas, dan diributkan banyak manusia. Bukan lagi pembahasan pada
perintah Allah Ta’ala untuk mendekatkan diri kepadaNya, dengan berbagai sarana
seperti membaca Al Quran, shalat, shaum, sedekah, dzikir, dan sarana taqarrub
ilallah yang lainnya. Sebab hal-hal ini memang telah disepakati oleh siapa
pun juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Pada praktek di
lapangan, ketika orang berdoa dengan bertawassul, banyak orang-orang awam menyangka bahwa yang
dilakukannya adalah tawassul kepada orang shalih atau Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam setelah wafatnya. Padahal yang mereka lakukan adalah meminta
tolong kepada makhluk yang sudah wafat, bukan meminta tolong kepada Allah
Ta’ala melalui makhluk (tawassul). Sehingga hal tersebut bisa membuat
pelakunya pada kemusyrikan yang besar. Ini pun diingkari oleh yang menyetujui
tawassul dengan orang shalih dan para nabi, sebab itu bukan maksud mereka. Tentu keduanya – meminta
tolong kepada makhluk dan meminta tolong kepada Allah Ta’ala melalui makhluk-
adalah dua hal yang berbeda. Namun, banyak orang awam yang tidak mengetahuinya.
Bahkan ada pula yang mengaku ahli agama
menyamaratakannya, di antara mereka ada yang menilai tawassul adalah
sama dengan istighatsah (minta tolong) kepada makhluk, hingga akhirnya
mereka mengenaralisir semua tawassul adalah syirik, karena itu adalah
minta tolong kepada makhluk. Termasuk tawassul kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam setelah wafatnya, dan kepada orang shalih setelah
wafatnya pula. Ucapan: “Ya Allah, dengan kemuliaan NabiMu, ampunilah dosaku.”
Bagi mereka ini adalah haram dan syirik, karena meminta harus murni kepada
Allah Ta’ala, tidak boleh diikutsertakan dengan siapa pun hatta seorang
nabi yang paling mulia.
Di sisi lain, ada
pula yang mengira apa yang mereka lakukan dengan meminta kepada makhluk, itulah
tawassul. Mereka mengucapkan: “Ya syaikh fulan, ampunilah aku,
berkahilah hidupku.” Mereka anggap ini adalah tawassul. Padahal
tidak demikian, ini adalah minta tolong kepada penghuni kubur yang jelas-jelas
syiriknya.
Kedua pihak sama-sama keliru. Pada titik
ini, memang tawassul telah memasuki kawasan aqidah, yakni permintaan tolong
seorang hamba kepada sesama hamba, seperti minta rezeki, minta ampun, dan
permintaan lain yang hanya layak dipanjatkan kepada Allah Ta’ala. Sehingga
ada ulama dan pengikutnya, yang
bersikeras memasukkan tawassul dalam pembahasan aqidah.
Tawassul
Yang Benar
Saya tidak akan membahas apa itu tawassul, bagaimana tawassul dan
seterusnya.To the point saja, bahwa ditengah beragam pandangan ulama
tentang tawassul ada beberapa tawassul yang lebih selamat dan dekat
kebenaran, yang ditegaskan oleh dalil-dalil syara’. Nah, baik pihak yang pro dan anti tawassul pun setuju dengan tawassul
jenis ini.
1.
Tawassul dengan Asma Allah
Ta’ala.
Dalilnya
adalah:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ
بِهَا
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaa-ul husna itu...” (QS. Al A’raf (6): 180)
Contoh: kalimat Yaa Rahmaan Irhamnii .. (Wahai Yang Maha Pengasih,
kasihinailah aku ..)
2.
Tawassul dengan minta doanya Orang shalih ketika hidup
Berkata
Syaikh Shalih Fauzan Hafizhahullah:
وقد استسقى عمر بن الخطّاب- رضي الله تعالى عنه- بدعاء العبّاس عمّ
الرسول صلى الله عليه وسلم، وقال: "اللهم إنّا كُنّا نستسقي بنبينا فتسقينا،
وإنا نستسقي بعمّ رسولك، قم يا عبّاس فادعو"، فيدعو العبّاس والنّاس
يؤمنِّون. وهذا توسُّل بدعاء الصالحين، وكما توسّل معاوية رضي الله عنه بيزيد
الجُرْشي، وغيرُهم.
“Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu
pernah beristisqa (minta hujan) dengan doanya Al ‘Abbas, paman Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam: “Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu meminta hujan
dengan Nabi kami dan Kau telah memberi hujan kepada kami, dan sesuangguhnya
kami beristisqa dengan paman RasulMu,”Bangunlah ‘Abbas, lalu berdoalah.”
Maka Al ‘Abbas berdoa dan manusia mengaminkan. Inilah tawassul dengan doa orang
shalih, sebagaiman tawassulnya Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu dengan Yazid
Al Jursyi, dan selain mereka.”
3.
Tawassul dengan Amal Shalih
Dalilnya
adalah kisah tiga orang yang terjebak di gua lalu mulut gua tersebut
tertutup batu besar. Untuk membukanya mereka berda kepada Allah Ta’ala
dengan bertawassul kepada Allah Ta;ala melalui amal shalih yang pernah mereka
lakukan masing-masing. Kisah ini masyhur.
Tiga
Tawassul ini telah ditekankan oleh Syaikh Al Albani sebagai Tawassul yang
masyru’ (disyariatkan), dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi pun menguatkan
pendapat Syaikh Al Albani ini.
4.
Tawassul kepada Allah Ta’ala dengan perantara
Keimanan
kepada Allah Ta’ala
Dalilnya:
رَبَّنَا إِنَّنَا
سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا
رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا
مَعَ الْأَبْرَارِ
“Ya
Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman,
(yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", Maka Kamipun beriman. Ya
Tuhan Kami, ampunilah bagi Kami dosa-dosa Kami dan hapuskanlah dari Kami
kesalahan-kesalahan Kami, dan wafatkanlah Kami beserta orang-orang yang banyak
berbakti.” (QS. Ali Imran (3): 193)
5.
Tawassul kepada Allah Ta’ala dengan Keimanan dan Ittiba’ kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam
Dalilnya:
رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا
أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِين
“Ya
Tuhan Kami, Kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah
Kami ikuti rasul, karena itu masukanlah Kami ke dalam golongan orang-orang yang
menjadi saksi (tentang keesaan Allah)" (QS. Ali Imran (3): 53)
6.
Tawassul kepada Allah Ta’ala dengan Tauhid
Syaikh
Shalih Fauzan Hafizhahullah berkata:
والتوسُّل بالتّوحيد:
(أسألك بأنّك أنت الله لا إله إلاَّ أنت)، وكما توسّل ذو النون - عليه الصلاة والسلام-
وهو في بطن الحوت: {فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ}
“Tawassul
dengan tauhid: “Aku minta kepadaMu, karena Engkaulah Allah Tiada Ilah kecuali
Engkau.” Sebagaimana tawassulnya Dzun Nun (Nabi Yunus ‘Alaihissalam),
ketika di perut ikan, dia berdoa: “ Maka ia menyeru dalam Keadaan yang
sangat gelap : "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau,
Sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Al Anbiya
(22): 87).”
Demikianlah
tawassul yang disepakati kebolehannya. (Lihat Syaikh Shalih bin Fauzan Al
Fauzan, I’anah Al Mustafid bi Syarhi Kitabut Tauhid, Juz. 3, Hal.
369-370, cet. 3, 1423H/2002M. Al Muasasah Ar Risalah)
Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah ditanya
bolehkah bertawasul dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau
menjawab:
أَمَّا التَّوَسُّلُ بِالْإِيمَانِ
بِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَطَاعَتِهِ وَالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَيْهِ وَبِدُعَائِهِ
وَشَفَاعَتِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا هُوَ مِنْ أَفْعَالِهِ وَأَفْعَالِ
الْعِبَادِ الْمَأْمُورِ بِهَا فِي حَقِّهِ . فَهُوَ مَشْرُوعٌ بِاتِّفَاقِ
الْمُسْلِمِينَ وَكَانَ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ يَتَوَسَّلُونَ بِهِ
فِي حَيَاتِهِ وَتَوَسَّلُوا بَعْدَ مَوْتِهِ بِالْعَبَّاسِ عَمِّهِ كَمَا كَانُوا
يَتَوَسَّلُونَ بِهِ
“Ada
pun bertawassul dengan beriman kepadanya (Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salam),
mencintainya, mentaatinya, bershalawat dan salam atasnya, dengan doanya dan
syafa’atnya dan yang lainnya, baik bertawassul dengan perbuatannya, dan perbuatan
manusia yang diperintahkan sesuai haknya. Maka, itu adalah perbuatan yang
disyariatkan sesuai kesepakatan kaum muslimin, dan para sahabat bertawassul
dengannya pada masa hidupnya, dan bertawassul kepada Al Abbas, pamannya,
setelah kematiannya, sebagaimana dahulu mereka bertawassul dengannya (ketika
masih hidup, pen).” (Majmu’ Al Fatawa, Juz. 1, Hal. 140)
Lalu, Bagaimanakah Posisi
Tawassul ini?
Setelah kita mengetahui jenis tawassul yang masyru’ (disyariatkan), maka
selanjutnya kita bahas, bagaimanakah sebenarnya posisi tawassul ini? Kategori
aqidahkah atau khilafiyah fiqih? Inilah yang
selanjutnya kita bahas.
Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah berkata dalam Ushul ‘Isyrin yang ke 15:
والدعاء إذا قرن بالتوسل إلى الله
تعالى بأحد من خلقه خلاف فرعي في كيفية الدعاء وليس من مسائل العقيدة .
“Berdoa apabila diiringi tawassul kepada Allah
Ta’ala dengan salah satu makhlukNya, merupakan perselisihan cabang dalam
masalah tata cara berdoa, bukan masalah aqidah.” (Majmu’ah Ar Rasail,
Hal. 307. Al Maktabah At Taufiqiyah)
Dari ucapan beliau –Rahimahullah- kita bisa menangkap, bahwa sikap
beliau terhadap tawassul memandangnya sebagai perselisihan furu’ (cabang),
bukan aqidah. Ucapan ini tidak ada indikasi sedikit pun bahwa beliau menyetujui
tawassul, sebab yang diucapkannya hanyalah mengetengahkan kepada pembaca
tentang ‘posisi’ masalah tawassul dalam syariat Islam.
Perkataan
Al Ustadz Hasan Al Banna, bahwa tawassul adalah permasalahan khilafiyah
cabang tentang tata cara berdoa. Karena ucapannya ini Beliau pernah dicela
oleh seorang da’i di dalam negeri, dengan disebut sebagai orang yang bodoh
dalam masalah aqidah, dalam sebuah artikel di majalah Islam. Maunya orang itu, dan pemahaman
kelompoknya –yang nampaknya sulit sekali membuka mata bahwa masalah ini memang
terjadi khilafiyah para ulama- bahwa
tawassul ini adalah masalah aqidah, bukan fiqih.
Apa yang dikatakan
oleh Al Ustadz Hasan Al Banna tidaklah keliru. Sebab demikianlah dalam
pandangan sebagian para ulama. Bagi yang dekat kitab
berbagai madzhab, baik Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hambaliyah,
pasti akan mendapati bahwa telah terjadi khilaf mu’tabar di antara
mereka dalam masalah tawassul ini.
Berikut akan saya paparkan beberapa bukti dari perkataan ulama, bahwa memang
‘benar’ tawassul adalah perkara khilafiyah furu’ (peselisihan
cabang) tata cara berdoa, bukan masalah aqidah.
Imam Ibnu Taimiyah: “Tawasul
adalah masalah debatable (niza’iyah).”
Berikut ini pendapat Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:
وأما القسم الثالث مما يسمى:
"توسلاً" فلا يقدر أحد أن ينقل فيه عن النبي صلى الله عليه وسلم شيئاً
يحتج به أهل العلم - كما تقدم بسط
الكلام على ذلك - وهو الإقسام على الله عز وجل بالأنبياء والصالحين أو السؤال
بأنفسهم، فإنه لا يقدر أحد أن ينقل فيه عن النبي صلى الله عليه وسلم شيئاً ثابتاً
لا في الإقسام أو السؤال به، ولا في الإقسام أو السؤال بغيره من المخلوقين، وإن
كان في العلماء من سوغه فقد ثبت عن غير واحد من العلماء أنه نهى عنه، فتكون مسألة
نزاع كما تقدم بيانه. فيرد ما تنازعوا فيه إلى الله ورسوله، ويبدي كل واحد حجته
كما في سائر مسائل النزاع، وليس هذا من مسائل العقوبات بإجماع المسلمين، بل
المعاقب على ذلك معتدٍ جاهل ظالم، فإن القائل بهذا قد قال ما قالت العلماء،
والمنكر عليه ليس معه نقل يجب اتباعه لا عن النبي صلى الله عليه وسلم ولا عن الصحابة.
Ada pun bagian ketiga, yaitu yang dinamakan dengan
tawassul, maka tak seorang pun yang dapat menukil masalah ini dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sedikit pun juga yang dijadikan hujjah para ulama –sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya. Tawassul adalah bersumpah atas nama Allah
‘Azza wa Jalla dengan para nabi, orang shalih, atau berdoa dengan perantara
mereka, sesungguhnya tidak seorang pun yang bisa menyebutkan riwayat shahih
dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang ini, baik tentang
sumpah dan berdoa melalui diri nabi, dan tidak pula tentang sumpah atau doa
dengan selain dirinya dari kalangan makhluk yang lain. Meski sebagian
ulama ada yang memperbolehkan, namun hal yang meyakinkan bahwa lebih dari satu
ulama yang melarangnya, maka masalah ini adalah masalah yang diperselisihkan
sebagaimana penjelasan lalu.
Maka, kembalikan masalah yang diperselisihkan ini kepada Allah dan
RasulNya, masing-masing pihak telah menyampaikan argumentasinya sebagaimana
permasalahan perselisihan lainnya. Menurut ijma’ kaum muslimin, masalah
ini bukanlah masalah yang melahirkan sanksi, justru kalau ada yang memberikan
sanksi maka dia melampaui batas, bodoh, dan zalim. Sesungguhnya yang mengatakan
seperti ini juga dikatakan para ulama, dan
pihak yang mengingkarinya tidak memiliki dalil yang bisa diikuti, tidak
dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak pula dari para
sahabatnya. (Imam Ibnu Taimiyah, Qaa’idah Al Jaliilah fit Tawassul wal
Wasilah, Hal. 230. Cet. 1. 2001M/1422H)
Sikap Imam Muhammad bin Abdul
Wahhab Rahimahullah
Beliau berkata dalam Fatawa wa Masa’il:
التوسل
بالصالحين
العاشرة:
قولهم في الاستسقاء: لا بأس بالتوسل بالصالحين، وقول أحمد:
يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم خاصة، مع قولهم: إنه لا يستغاث
بمخلوق، فالفرق ظاهر جدًا، وليس الكلام مما نحن فيه؛ فكون بعض يرخص بالتوسل
بالصالحين وبعضهم يخصه بالنبي صلى الله عليه وسلم، وأكثر العلماء ينهى عن
ذلك ويكرهه، فهذه المسألة من مسائل الفقه، ولو كان الصواب عندنا: قول
الجمهور: إنه مكروه، فلا ننكر على من فعله؛ ولا إنكار في مسائل الاجتهاد، لكن
إنكارنا على من دعا لمخلوق أعظم مما يدعو الله تعالى، ويقصد القبر يتضرع عند ضريح
الشيخ عبد القادر أو غيره، يطلب فيه تفريج الكربات، وإغاثة اللهفات، وإعطاء
الرغبات
Bertawasssul Dengan Orang Shalih
Bertawasssul Dengan Orang Shalih
Kesepuluh:
“Pendapat mereka tentang masalah Istisqa’: tidak apa-apa
bertawassul dengan orang-orang shalih. Pendapat Imam Ahmad: Bertawassul hanya
khusus dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bersamaan ucapan
mereka: tidak dibolehkan istighatsah (meminta pertolongan) dengan makhluk, dan
perbedaannya sangat jelas (antara bertawassul dengan istighatsah, pen),
dan ini bukanlah perkataan yang sedang kami bahas.
Kebanyakan Ulama melarang itu dan memakruhkannya, dan masalah
ini termasuk permasalahan fiqih. Pendapat yang benar menurut pandangan saya
adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, bahwa hal itu (tawassul dengan orang
shalih) adalah makruh. Kami tidak mengingkari orang yang melakukannya,
dan tidak ada pengingkaran dalam permasalahn ijtihad. Tetapi yang kami
ingkari adalah orang-orang yang lebih mengagungkan permintaan kepada makhluk
dibanding kepada Allah Ta’ala, bertadharru’ (merendahkan diri) kepada kuburan,
seperti kuburan Syaikh Abdul Qadir Jaelani dan lainnya, berkeluh
kesah atas kesulitan di kuburnya, meminta tolong atas rasa dukanya, dan meminta
pemberian berbagai keinginannya. (Fatawa wa Masail, Hal. 68-69,
Mausu’ah Ibn Abdil Wahhab)
Seperti yang Anda lihat, Imam Muhamamd bin Abdul Wahhab memasukkan
pembahasan tawassul ini dalam zona kajian fiqih. Ucapan beliau ini, selain koreksi atas pihak yang menganggap tawassul
sebagai perkara aqidah, sekaligus sanggahan atas pihak yang telah
memfitnahnya, bahwa Muhammad bin Abdil Wahhab telah mengkafirkan para pelaku
tawassul. Tidak. Yang beliau ingkari adalah bukan tawassul tetapi
beristighatsah (minta tolong) kepada penghuni kubur, mengadu, berkeluh
kesah, dan beharap kepada penghuni kubur. Jelas, kalau ini adalah syirik akbar,
jika dilakukan secara sadar. Namun, bagi orang awam yang tidak mengetahui
hukum-hukum ini tidak bisa dikafirkan, karena kebodohannya itu.
Perkataan beliau, juga merupakan sanggahan bagi orang yang mengaku mengikuti
perjuangannya, kaum yang sangat keras dan garang pengingkarannya dalam
masalah tawassul. Sampai-sampai mudah sekali melontarkan tuduhan syirk
dan quburi kepada pelaku tawassul. Padahal Imam Muhammad bin Abdil
Wahhab cuma memakruhkan tawassul dengan orang shalih (yang sudah wafat), tidak
sampai mengharamkan,
apalagi menyebut dengan syirk atau quburi (penyembah kubur).
Sikap bijak yang didasarkan kepada ilmu yang matang dari Imam Muhamad bin
Abdil Wahhab ini ternyata tidak diwariskan oleh orang-orang yang mengaku
mengaguminya dan pelanjut perjuangannya.
Sikap
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id
Beliau –Rahimahullah- memasukkan pembahasan tawassul dalam kitab
fiqihnya, Ihkam Al Ahkam Syarh ‘Umdah Al Ahkam (Juz. 1, Hal. 490. Cet. 1, 1426H-2005M. Muasasah Ar Risalah)
Beliau menambahkan, yakni tawassul dengan nikmat Allah Ta’ala yang lalu dan
yang akan datang. Dalilnya adalah doa Nabi Zakariya ‘Alaihissalam:
"Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku telah lemah
dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa
kepada Engkau, Ya Tuhanku.” (QS. Maryam (19): 4)
Juga doa Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam:
“Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku
akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik
kepadaku.” (QS. Maryam (19): 47)
Sikap Para Ulama
Kuwait
Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, para ulama yang
menyusun kitab tersebut pun memasukkan masalah tawassul dalam bidang fiqih.
Buktinya adalah mereka memasukkan dalam buku Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah
(Ensiklopedi Fiqih) yang mereka susun, yang diterbitkan oleh Kementerian Waqaf
dan urusan Agama, Kuwait.
Dalam kitab ini juga disebutkan berbagai macam tawassul yang
dianjurkan dan dibolehkan, serta tawassul yang diperselisihkan para ulama.
Tawassul
yang disepakati kebolehannya –yang tertulis kitab tersebut- adalah:
1. Tawassul dengan Asma wa
Sifat, bahkan disebutkan hukumnya mustahab (disukai).
2. Tawassul dengan iman dan
amal shalih, disebutkan bahwa telah ijma’ kebolehannya.
3. Tawassul dengan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, ada dua macam:
- Kita
berdoa di dunia agar mendapat syafaatnya di akhirat
- Kita
memintakan kepadanya doa untuk kita ketika masa hidupnya, hal ini mutawatir.
Kedua model ini tidak diperselisihkan ulama
4. Tawassul dengan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di akhirat, yakni di padang mahsyar
agar mendapatkan syafa’at, ini telah disepakati para ulama, kecuali golongan
mu’tazilah yang menolaknya.
5. Tawassul dengan iman dan
mahabbah kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ini juga tidak
ada perselisihan.
Tawassul yang
diperselisihkan adalah:
1.
Tawassul kepada Allah Ta’ala dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
setelah wafatnya.
Ada tiga pendapat, tertulis dalam kitab tersebut demikian:
ذَهَبَ جُمْهُورُ
الْفُقَهَاءِ ( الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَمُتَأَخِّرُو الْحَنَفِيَّةِ
وَهُوَ الْمَذْهَبُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ ) إِلَى جَوَازِ هَذَا النَّوْعِ مِنَ
التَّوَسُّل سَوَاءٌ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَوْ بَعْدَ وَفَاتِهِ
“Madzhab jumhur (mayoritas) ahli fiqih (Malikiyah, Syafi’iyah, generasi
belakangan Hanafiyah, dan ini juga pendapat Hanabilah/Hambaliyah) berpendapat
bolehnya tawassul jenis ini, sama saja, baik ketika Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam masih hidup atau setelah wafatnya.”
Berkata Al Qasthalani: Telah diriwayatkan, bahwa ketika Abu Ja’far bin Manshur
(khalifa kedua masa Bani Abbasiyah) bertanya kepada Imam Malik: “Wahai Abu
Abdillah (Imam Malik), apakah aku harus menghadap kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam lalu berdoa, ataukah aku menghadap ke kiblat lalu berdoa?”
Imam Malik menjawab:
وَلِمَ تَصْرِفْ وَجْهَك عَنْهُ وَهُوَ وَسِيلَتُك وَوَسِيلَةُ
أَبِيك آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَل يَوْمَ الْقِيَامَةِ
؟ بَل اسْتَقْبِلْهُ وَاسْتَشْفِعْ بِهِ فَيُشَفِّعُهُ اللَّهُ .
“Ketika kau hadapkan wajahmu kepadanya, maka dia adalah wasilah(perantara)mu
dan wasilah bapak moyangmu, Adam ‘Alaihis Salam, kepada Allah ‘Azza
wa Jalla pada hari kiamat nanti. Bahkan, menghadap kepadanya dan mintalah
syafa’at dengannya, maka Allah akan memberikan syafa’at.”
Ucapan ini diriwayatkan oleh Abul Hasan Ali bin Fihr dalam kitabnya
Fadhailul Malik, dengan sanad Laa Ba’sa bihi (tidak
mengapa). Dan Al Qadhi ‘Iyadh meriwayatkannya dalam Asy Syifa dari
jalannya, dari para syaikh, dan dari masyaikhnya yang tsiqat.
Pendapat kedua adalah yang memakruhkan tawassul dengan
nabi setelah wafatnya. Inilah pendapat Abu Hanifah dan kedua muridnya, Abu
Yusuf dan Muhamamd bin Hasan. Begitu pula Ibnu ‘Abidin dan Al Hashkafi.
Pendapat ketiga adalah pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan sebagian
Hanabilah generasi belakangan, bahwa bertawassul dengan Dzat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tidaklah boleh. Namun bertawassul dengan selain dzatnya,
maka ada tiga macam bentuknya:
-
Bertawassul dengan keimanan dan ketaataan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, bahkan ini merupakan dasar agama
-
Bertawassul dengan doanya, dan meminta syafaatnya, ini semua membawa
manfaat bertawassul dengannya.
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan kedua jenis ini adalah boleh dan
tidak ada umat Islam yang mengingkarinya. Jika ada yang mengingkari salah
satunya maka dia kafir murtad, harus disuruh tobat, kalau tidak mau tobat maka
dibunuh karena murtad.
- Bertawassul
dengan bersumpah kepada dzat Nabi atau meminta kepada dzatnya, maka
tidak boleh, tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, baik hidup atau matinya,
tidak pula di kuburnya atau di tempat lain.
Tetapi Imam Ibnu Taimiyah membolehan beratwassul kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dengan ucapan:
أَسْأَلُكَ بِنَبِيِّكَ
مُحَمَّدٍ
“Aku meminta kepadaMu dengan NabiMu
Muhammad.”
Berikut ini komentar Imam Ibnu Taimiyah terdapat ucapan ini:
فَيُحْمَل قَوْل
الْقَائِل : أَسْأَلُكَ بِنَبِيِّك مُحَمَّدٍ عَلَى أَنَّهُ أَرَادَ : إِنِّي
أَسْأَلُك بِإِيمَانِي بِهِ وَبِمَحَبَّتِهِ ، وَأَتَوَسَّل إِلَيْك بِإِيمَانِي
بِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ ، وَقَدْ ذَكَرْتُمْ أَنَّ هَذَا جَائِزٌ
بِلاَ نِزَاعٍ .
“Maka, dipahami ucapan seseorang: Aku meminta kepadaMu dengan NabiMu
Muhammad, yaitu maksudnya adalah: Aku meminta kepadaMu dengan keimananku
terhadapnya dan rasa cinta terhadapnya, aku betawassul kepadaMu dengan
keimananku terhadapnya, dan cintaku terhadapnya, dan yang semisalnya, dan telah
Anda sebukan bahwa ini boleh tanpa adanya pertentangan.”
2. Tawassul yang diperselisihkan jenis kedua adalah tawassul kepada Orang Shalih setelah wafatnya
Dalam
kitab tersebut disebutkan bahwa dalam masalah ini pembahasannnya sama dengan
masalah tawassul dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika sudah
wafat.
(Lihat semua ini
dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 14/151 – 16 )
Paparan ini menunjukkan bahwa memang tawassul adalah masalah
fiqih, yakni khilafiyah furu dalam tata cara berdoa, sebagaimana yang dikatakan
oleh Imam Hasan Al Banna Rahimahullah.
Sikap Syaikh
Wahbah Az Zuhaili
Beliau
telah memasukkan tawassul dalam bukunya yang terkenal Al Fiqh Al Islami
wa Adillatuh (Juz. 2, Hal. 565. Darul Fikr)
Sikap Imam Abdul Haq Sa’id
Ibrahim Al Azdi
Beliau
telah memasukkan tawassul dalam kitab fiqihnya, Al Ahkam Asy Syar’iyyah
Al Kubra (Juz. 3, Hal. 550-551. Cet.1, 1422H-2001M, Al Maktabah Ar
Rusyd - As Su’udiyah)
Sebagaimana
kitab lainnya, beliau juga membahas tawassul sesuai jenisnya.
Demikianlah masalah ini, kami kira ini sudah cukup mewakili kebenaran apa yang disampaikan oleh Syaikh
Hasan Al Banna. Seperti yang Anda lihat, apa yang disampaikannya bahwa tawassul
bukanlah masalah aqidah, melainkan khilafiyah furu tentang tata cara ibadah,
adalah sesuai dengan para imam dan ulama Ahlus Sunnah lainnya. Namun, kami
mengakui bahwa, terdapat orang bodoh yang meminta tolong pada orang mati
di kubur, jelas ini adalah syirik akbar, walau yang dia minta adalah orang
shalih. Sayangnya mereka menamakan itulah tawassul! Nah, pada titik ini masalah
tawassul memang menjadi pembicaraan aqidah. Kami juga tidak mengingkari
bahwa sebagian ulama masa kini seperti Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan,
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan lainnya, telah memasukkan masalah
tawassul dalam kitab-kitab aqidah karya mereka. Walhasil, para imam kaum
muslimin belum ada kata sepakat tentang ini. Namun, bagi yang jernih dan jujur,
pasti mengakui bahwa semua ulama yang membicarakan tawassul, pasti biasanya dibicarakan dalam masalah tata
cara berdoa.
Penjalasan ini sekaligus menunjukkan bahwa telah terjadi sikap yang melampaui
batas dan sembrono yang dilakukan sebagian manusia, ketika mereka menyikapi hal
ini seakan sudah keputusan final bahwa kebenaran ada pada pihak mereka, bahwa tawassul
adalah masalah aqidah. Tidak demikian seharus sikap mereka, jika mau fair,
seharusnya mereka juga mencela para ulama lain, selain Syaikh Hasan Al Banna,
seperti Imam Muhamamd bin Abdil Wahhab, Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Imam Abdul Sa’ad
Ibrahim Al Azdi, Syaikh Wahbah Az Zuhaili, dan para ulama Kuwait. Tetapi kenapa
hanya Syaikh Hasan Al Banna yang diserang?
Tambahan: Pandangan Para Imam Pro
Tawassul Dengan Nabi dan/atau Orang Shalih
Selanjutnya, demi keseimbangan ilmiah, maka akan kami paparkan pula pandangan
para ulama yang menyetujui tawassul dengan
nabi dan orang shalih. Walau bukan dalam posisi
menyetujui, namun ini kami lakukan agar kita tidak menutup mata, bahwa memang
benar-benar terjadi khilafiyah yang masyhur antara para ulama. Sekaligus
memperkuat apa yang dikatakan oleh Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah.
1.
Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah
Telah
masyhur bahwa Imam Ahmad membolehkan bertawassul kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi was Sallam saja setelah wafatnya, tidak yang lainnya. Berkata Imam
Muhamamd bin Abdil Wahhab:
وقول أحمد: يتوسل بالنبي صلى الله
عليه وسلم خاصة
“Ahmad berpendapat bertawassul hanya khusus
kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saja.” (Fatawa wa Masail,
Juz. 68. Lihat juga, Imam Abul Hasan Al Mardawi, Al Inshaf, Juz.
4, Hal. 178)
2. Imam Ali Syaukani Rahimahullah
Imam
Asy Syaukani berpendapat bolehnya bertawassul kepada Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam, dia berdalil dari hadits shahih, dari Utsman bin
Hunaif, yaitu kisah seorang buta yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam agar disembuhkan kebutaannya, lalu dia berdoa dengan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Demikian sebagian teksnya:
أقول ومن التوسل
بالأنبياء ما أخرجه الترمذي وقال حسن صحيح غريب والنسائي وابن ماجة وابن خزيمة في
صحيحه والحاكم وقال صحيح على شرط البخاري ومسلم من حديث عثمان بن حنيف رضي الله
عنه أن أعمى أتى النبي صلى الله عليه وسلم.....
“Aku
katakan, bahwa diantara bentuk tawassul dengan para nabi adalah apa yang
diriwayatkan oleh At Tirmidzi, katanya hasan shahih gharib, An Nasa’i, Ibnu
Majah, Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya, dan Al hakim, katanya shahih sesuai
syarat Bukhari dan Muslim, dari hadits ‘Utsman bin Hanif Rahiallahu ‘Anhu
bahwa seorang buta datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ....
dst”
Beliau
juga membolehkan tawassul dengan orang shalih, berdasarkan kisah Umar bin Al
Khathab yang meminta Al Abbas, paman Nabi, untuk berdoa minta hujan. Demikian
sebagian teksnya:
وأما التوسل بالصالحين
فمنه ما ثبت في الصحيح أن الصحابة استسقوا بالعباس رضي الله عنه عم رسول الله صلى
الله عليه وسلم وقال عمر رضي الله عنه اللهم إنا نتوسل إليك بعم نبينا الخ
“Ada
pun bertawassul dengan orang shalih, diantaranya apa yang diriwayatkan secara
shahih bahwa sahabat beristisqa dengan Al Abbas Radhiallahu ‘Anhu, paman
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan Umar Radhiallahu ‘Anhu
berkata: “Ya Allah kami bertawassul kepadaMu dengan paman Nabi kami ..dst.”(Tuhfah
Adz Dzakirin, Hal. 56. Cet.1, 1984M. Darul Qalam, Beirut, Libanon)
Jadi,
jika kita lihat secara seksama, maka pihak yang pro atau kontra
ternyata menggunakan dalil yang sama, yakni hadits orang buta dan hadits Al
Abbas. Bagi pihak yang kontra, hadits orang buta tersebut bukanlah bertawassul
dengan Nabi Shallalalhu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi Nabi-lah yang
mendoakan orang buta, bersama doa orang buta tersebut. Atau, sekali pun disebut
tawassul, bukanlah tawassul ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
sudah wafat, tetapi ketika masih hidup.
Sedangkan,
kisah Al Abbas bukanlah Umar bertawassul dengan orang shalih, tetapi Umar
meminta didoakan oleh orang shalih. Sekali pun disebut tawassul, itu adalah
bertawassul dengan orang shalih yang masih hidup. Demikian pandangan ulama yang
kontra terhadap tawassul dengan Nabi dan orang shalih.
Perlu diketahui, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani sendiri mengetahui
sikap Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Asy Syaukani ini, beliau berkata:
فأجاز الإمام أحمد التوسل بالرسول صلى الله عليه وسلم وحده فقط وأجاز غيره كالإمام الشوكاني التوسل به وبغيره من الأنبياء والصالحين
“Imam Ahmad membolehkan tawassul dengan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saja. Ada pula yang membolehkan
dengan selainnya, seperti pendapat Imam Asy Syaukani, bahwa boleh bertawassul
dengan selain Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik dari kalangan
para nabi dan orang shalih.” (At Tawassul, Hal. 34)
3. Imam Nawawi Rahimahullah
Imam An Anwawi menulis dalam kitabnya, Al Majmu’, tentang adab
ziarah ke kubur Rasulullah dan para sahabat, di antara yang dia katakan:
ثم يرجع إلى موقفه الاول قبالة وجه
رسول الله صلى الله عليه وسلم ويتوسل به في حق نفسه ويستشفع به إلى ربه
سبحانه وتعالى
“Kemudian hendaknya kembali ke posisi semula, menghadapkan wajah ke Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan bertawassul dengannya pada hak dirinya, dan
meminta syafaat dengannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala...” (Majmu’
Syarh Al Muhadzdzab, Juz. 8, Hal. 274, Darul Fikr)
4.Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi Al Hambali Rahimahullah
Dalam Fasal: Disunnahkan Ziarah Kubur Rasulullah. Beliau
menyontohkan adab berziarah ke kubur Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, serta memberikan contoh doa, diantaranya:
وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا مِنْ ذُنُوبِي مُسْتَشْفِعًا بِكَ إلَى رَبِّي...
“Aku datang kepadamu (Rasulullah) agar memohonkan ampun bagi dosa-dosaku
dan memintakan syafaat denganmu kepada Tuhanku ...” (Al Mughni, Juz.
7, Hal. 420. Lihat juga Syarhul Kabir, Juz. 3, Hal. 495)
Doa ini tidak lain adalah bertawassul
kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yakni meminta kepada Nabi
agar memohonkan ampun kepada Allah Ta’ala bagi si penziarah. Padahal Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah di kubur!
5.Imam Al Bahuti Rahimahullah
Dalam kitab Kasysyaf Al Qina’, yakni Kitabul Haj, Fasal:
Setelah Selesai Haji disunnahkan Ziarah Kubur Rasulullah. Beliau juga
menyontohkan doa seperti yang ditulis oleh Imam Ibnu Qudamah di atas. (Kasysyaf
Al Qina’, Juz. 7, Hal. 317)
6. Imam Mushthafa bin Sa’ad As Suyuthi Ar Rahibani
Dalam kitab Mathalib Ulin Nuha Syarh Ghayah Al Muntaha, dalam
Kitabul Haj, Fasal Ziarah Ke Kubur Nabi dan Sahabatnya, beliau juga
menulis seperti apa yang ditulis oleh Al Bahuti, Ibnu Qudamah, dan An Nawawi. (Mathalib
Ulin Nuha Syarh Ghayah Al Muntaha, Juz. 6, Hal. 369)
7. Syaikh
Muhamamd bin Husein bin Sulaiman Al Faqih
Beliau berkata:
وأمّا التّوسّل بالأنبياء والصّالحين في حياتهم وبعد مماتهم؛ فهو
جائز ـ كما قدّمناه
Ada pun bertawassul dengan para
nabi dan orang-orang shalih, saat mereka hidup dan setelah wafatnya, itu adalah
boleh, sebagaimana yang telah kami jelaskan dahulu. (Al Kasyf Al Mubdi,
Hal. 307)
Sebenarnya masih banyak para ulama yang sependapat dengan mereka dari berbagai
madzhab fiqih Ahlus Sunnah, namun saya kira ini cukup mewakili.
Alasan mereka adalah karena Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup di alam barzakh, bahkan
sebagian ulama lain menyebutkan sama
dengan kehidupan hakiki. Ini adalah pandangan mayoritas imam muhaqqiq (peneliti)
dari kalangan ahlus sunnah.
Imam Asy Syaukani Rahimahullah
mengatakan:
وَقَدْ
ذَهَبَ جَمَاعَة مِنْ الْمُحَقِّقِينَ إلَى أَنَّ رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيّ بَعَدَ وَفَاته
Segolongan para muhaqqiq
telah berpendapat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap
hidup setelah wafatnya. (Nailul Authar, 3/248)
Ini juga pendapat Imam Al
Baihaqi dan Imam As Suyuthi. (Syaikh Waliyuddin At Tibrizi, Misykah Al
Mashabih, 4/873), juga Imam Muhammad bin Abdul Wahhab. (Ushul Al
Iman, Hal. 21) dan masih banyak lagi.
Alasannya mereka adalah:
Dari Anas bin Malik Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الأنبياء
أحياء في قبورهم يصلون
Para nabi itu hidup di kubur
mereka dan mereka shalat di dalamnya. (HR. Abu Ya’la No. 3425, Syaikh Husein
Salim Saad mengatakan: shahih. Al Bazzar No. 6888. Syaikh Baari’ ‘Irfaan
Tawfiq mengatakan: shahih. Lihat As Shahih Al Kunuz As Sunnah An
Nabawiyah, 1/129. Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat Shahihul
Jami’ No. 2790. Imam Al Haitsami mengatakan: perawi Abu ya’la adalah tsiqat.
Lihat Majma’ Az Zawaid, 8/386)
Alasan
lain:
وَلا
تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ
عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Janganlah kamu
mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu
hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS. Ali ‘Imran: 169)
Jika para syuhada
saja disebut “hidup”, dan tidak mati, maka para nabi apalagi Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, lebih layak untuk mengalaminya.
Dalam Shahih Muslim
disebutkan dari Anas bin Malik, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
أَتَيْتُ وَفِي رِوَايَةِ هَدَّابٍ مَرَرْتُ عَلَى
مُوسَى لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ وَهُوَ قَائِمٌ
يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ
Saya
mendatangi –dalam riwayat Haddab- saya melewati Musa pada malam ketika saya
di-Isra-kan, di sisi bukit merah, dan dia sedang shalat di dalam kuburnya. (HR. Muslim No. 2375)
Demikian tambahannya. Wallahu A’lam
Komentar
Posting Komentar