Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
Haji Abdul Malik Karim Amrullah
Haji Abdul Malik Karim Amrullah | |
---|---|
Hamka
|
|
Nama panggilan | Hamka |
Lahir | 17 Februari 1908 Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam, Hindia Belanda |
Meninggal | 24 Juli 1981 (umur 73) Jakarta |
Kebangsaan | Indonesia |
Suku bangsa | Minangkabau |
Minat utama | Tafsir Al-Qur'an, hukum Islam, dan sejarah Islam |
Karya terkenal | Tafsir Al-Azhar Tenggelamnya Kapal Van der Wijck Di Bawah Lindungan Ka'bah |
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah bin Abdul Karim Amrullah bin Syeikh Muhammad Amrullah bin Tuanku Abdullah Saleh bin Tuanku Syeikh Pariaman atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik.
Hamka lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah: 13 Muharram 1362] di Minangkabau, Sumatera. Ia lahir sebagai anak pertama dari tujuh orang bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah,
ulama pembaru Islam di Minangkabau yang akrab dipanggil dengan sebutan
Haji Rasul, sementara ibunya, yakni Sitti Shafiyah, berasal dari
keturunan seniman di Minangkabau. Adapun ayah dari Abdul Karim, kakek
Hamka, yakni Muhammad Amrullah dikenal sebagai ulama pengikut Tarekat Naqsyabandiyah.
Sebelum mengenyam pendidikan di sekolah, Hamka tinggal bersama neneknya di sebuah rumah di dekat Danau Maninjau. Ketika berusia enam tahun, ia pindah bersama ayahnya ke Padang Panjang. Sebagaimana umumnya anak-anak laki-laki di Minangkabau, sewaktu kecil ia belajar mengaji dan tidur di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebab anak laki-laki Minang memang tak punya tempat di rumah.[1] Di surau, ia belajar mengaji dan silek, sementara di luar itu, ia suka mendengarkan kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan dengan alat-alat musik tradisional Minangkabau.[2]
Pergaulannya dengan tukang-tukang kaba, memberikannya pengetahuan
tentang seni bercerita dan mengolah kata-kata. Kelak melalui
novel-novelnya, Hamka sering mencomot kosakata dan istilah-istilah
Minangkabau. Seperti halnya sastrawan yang lahir di ranah Minang, pantun
dan petatah-petitih menjadi bumbu dalam karya-karyanya.
Mengenyam pendidikan
Pada tahun 1915, setelah usianya genap tujuh tahun, ia dimasukkan ke sebuah Sekolah Desa dan belajar ilmu pengetahuan umum seperti berhitung dan membaca di sekolah tersebut.[3][4]
Pada masa-masa itu, sebagaimana diakui oleh Hamka, merupakan zaman yang
seindah-indahnya pada dirinya. Pagi ia bergegas pergi ke sekolah supaya
dapat bermain sebelum pelajaran dimulai, kemudian sepulang sekolah
bermain-main lagi, bercari-carian, bermain galah, bergelut, dan
berkejar-kejaran, seperti anak-anak lainnya bermain.[2] Dua tahun kemudian, sambil tetap belajar setiap pagi di Sekolah Desa, ia juga belajar di Diniyah School setiap sore.[5] Namun sejak dimasukkan ke Thawalib oleh ayahnya pada tahun 1918, ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Desa.[6][7] Ia berhenti setelah tamat kelas dua.[8] Setelah itu, ia belajar di Diniyah School setiap pagi, sementara sorenya belajar di Thawalib dan malamnya kembali ke surau.[9]
Demikian kegiatan Hamka kecil setiap hari, sesuatu yang—sebagaimana
diakuinya—tidak menyenangkan dan mengekang kebebasan masa
kanak-kanaknya.[10]
Selama belajar di Thawalib, ia bukan termasuk anak yang pandai,
bahkan ia sering tidak hadir beberapa hari karena merasa jenuh dan
memilih mencari ilmu dengan jalannya sendiri.[2] Ia lebih senang berada di sebuah perpustakaan umum milik gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy daripada dipusingkan dengan pelajaran-pelajaran yang harus dihafalnya di kelas.[11][12]
Dari perpustakaan tersebut, ia leluasa membaca bermacam-macam buku,
bahkan beberapa ia pinjam untuk dibawanya pulang. Namun, karena buku
yang dipinjamnya itu tidak ada hubungannya dengan pelajaran, ia sempat
dimarahi oleh ayahnya ketika ketahuan tengah asyik membaca Kaba Cindua Mato. Ayahnya berkata, "Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti, atau menjadi orang tukang cerita?"[13][14]
Sebagai usaha untuk menunjukkan diri kepada ayahnya dan sebagai
akibat dari persentuhannya dengan buku-buku yang dibacanya tentang daya
tarik Jawa Tengah, menyebabkan Hamka sangat berminat untuk merantau ke
Tanah Jawa. Pada saat yang sama, ia tidak lagi tertarik untuk
menyelesaikan pendidikan di Thawalib. Setelah belajar selama empat
tahun, ia memutuskan untuk keluar dari Thawalib, sementara program
pendidikan di sekolah tersebut dirancang selama tujuh tahun. Ia keluar
tanpa memperoleh ijazah. Pada masa-masa setelah itu, Hamka sempat dibawa
ke Parabek, sekitar 5 km dari Bukittinggi pada tahun 1922 untuk belajar kepada Syekh Ibrahim Musa, tetapi tidak berlangsung lama.[5]
Ia lebih memilih mengikuti kata hatinya untuk menuntut ilmu dan
pengalaman menurut caranya sendiri. Ia memutuskan untuk bertolak ke
pulau Jawa. Namun, usaha yang pertama sempat terjegal oleh ayahnya.
Merantau ke Jawa
Hamka telah berkelana ke sejumlah tempat di Minangkabau sejak berusia
remaja, sehingga dijuluki oleh ayahnya dengan sebutan "Si Bujang Jauh".[13]
Ketika berusia 15 tahun, setelah mengalami suatu peristiwa yang
mengguncangkan jiwanya, yakni perceraian orang tuanya, Hamka telah
berniat pergi ke pulau Jawa setelah mengetahui bahwa Islam di Jawa lebih
maju daripada Minangkabau terutama dalam hal pergerakan dan organisasi.
Namun setiba di Bengkulu, Hamka terkena wabah penyakit cacar, sehingga setelah sekitar dua bulan berada di atas pembaringan, ia memutuskan kembali ke Padang Panjang.[11]
Meski begitu niatnya untuk pergi ke pulau Jawa tidak terbendung. Pada
tahun 1924, setahun setelah sembuh dari penyakit cacar, ia kembali
berangkat ke pulau Jawa.
Setiba di pulau Jawa, Hamka bertolak ke Yogyakarta dan menetap di rumah adik kandung ayahnya, Ja'far Amrullah.[15][16]
Melalui pamannya itu, ia mendapat kesempatan mengikuti berbagai diskusi
dan pelatihan pergerakan Islam yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Sarekat Islam.[17] Selain mempelajari pergerakan Islam, ia juga meluaskan pandangannya dalam persoalan gangguan terhadap kemajuan Islam seperti kristenisasi dan komunisme. Selama di Jawa, ia aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan agama. Dalam berbagai kesempatan, ia berguru kepada Bagoes Hadikoesoemo, HOS Tjokroaminoto, Abdul Rozak Fachruddin, dan Suryopranoto.[18] Sebelum kembali ke Minangkabau, ia sempat mengembara ke Bandung dan bertemu dengan tokoh-tokoh Masyumi seperti Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir, yang memberinya kesempatan belajar menulis dalam Majalah Pembela Islam.[19] Selanjutnya pada tahun 1925, ia pergi ke Pekalongan, Jawa Timur untuk menemui Ahmad Rasyid Sutan Mansur—yang
waktu itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang
Pekalongan—sekaligus belajar kepadanya. Selama di Pekalongan, ia menetap
di rumah kakak iparnya itu dan mulai tampil berpidato di beberapa
tempat.[20][21]
Dalam perantauan pertamanya ke pulau Jawa, ia mengaku memiliki
semangat baru dalam mempelajari Islam. Ia juga melihat ada perbedaan
antara misi pembaruan Islam di Minangkabau dan Jawa; jika di Minangkabau
ditujukan pada pemurnian ajaran Islam dari praktik yang dianggap salah,
seperti tarekat, taklid, dan khirafat, maka di Jawa lebih berorientasi kepada usaha untuk memerangi keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan.
Menunaikan ibadah haji
Setelah setahun lamanya berada di Jawa, pada bulan Juli 1925 Hamka kembali ke Padang Panjang.[22] Di Padang Panjang, ia menulis majalah pertamanya berjudul Chatibul Ummah, yang berisikan kumpulan pidato yang didengarkannya di Surau Jembatan Besi,[23] dan Majalah Tabligh Muhammadiyah.[24]
Di sela-sela aktivitasnya dalam bidang dakwah melalui tulisan, ia
menyempatkan berpidato di beberapa tempat di Padang Panjang. Namun pada
saat itu, semuanya justru dikritik tajam oleh ayahnya, "Pidato-pidato
saja adalah percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan
manfaatnya pidato-pidatomu itu." Di sisi lain, ia tidak mendapatkan
penerimaan baik dari masyarakat. Ia sering kali dicemooh sebagai "tukang
pidato yang tidak berijazah",[25] bahkan ia sempat mendapat kritikan dari sebagian ulama karena ketika itu ia belum menguasai bahasa Arab dengan baik.[26] Berbagai kritikan yang ia terima di tanah kelahirannya, ia jadikan cambuk untuk membekali diri lebih matang.
Pada bulan Februari 1927, ia mengambil keputusan pergi ke Mekkah
untuk memperdalam ilmu pengetahuan kegamaannya, termasuk untuk
mempelajari bahasa Arab dan menunaikan ibadah hajinya yang pertama.[27] Ia pergi tanpa pamit kepada ayahnya dan berangkat dengan biaya sendiri.[28] Selama di Mekkah, ia menjadi koresponden Harian Pelita Andalas sekaligus bekerja di sebuah perusahaan percetakan milik Tuan Hamid, putra Majid Kurdi, yang merupakan mertua dari Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.[29][30]
Di tempat ia bekerja itu, ia dapat membaca kitab-kitab klasik,
buku-buku, dan buletin Islam dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa
asing yang dikuasainya.
Menjelang pelaksanaan ibadah haji berlangsung, Hamka bersama beberapa
calon jemaah haji lainnya mendirikan organisasi Persatuan Hindia Timur,
sebuah organisasi yang memberikan pelajaran manasik haji kepada calon
jemaah haji asal Indonesia.[26] Setelah menunaikan haji, dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, ia berjumpa dengan Agus Salim dan sempat menyampaikan hasratnya untuk menetap di Mekkah, tetapi Agus Salim justru menasihatinya untuk segera pulang.[31]
"Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut pergerakan, studi,
dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih baik
mengembangkan diri di tanah airmu sendiri", ujar Agus Salim.[32]
Ia pun segera kembali ke tanah air setelah tujuh bulan bermukim di
Mekkah. Namun, bukannya pulang ke Padang Panjang, Hamka malah menetap di
Medan, kota tempat berlabuhnya kapal yang membawanya pulang.[33]
Karier di Medan
Selama di Medan, ia banyak menulis artikel di berbagai majalah dan sempat menjadi guru agama selama beberapa bulan di Tebing Tinggi.[34] Ia mengirimkan tulisan-tulisannya untuk surat kabar Pembela Islam di Bandung dan Suara Muhammadiyah yang dipimpin Abdul Rozak Fachruddin di Yogyakarta.[23] Selain itu, ia juga bekerja sebagai koresponden di Harian Pelita Andalas
dan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke
Mekkah pada tahun 1927. Pada tahun 1928, ia menulis romannya yang
pertama dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah. Pada tahun yang sama, ia diangkat sebagai redaktur Majalah Kemajuan Zaman berdasarkan hasil konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang.[35] Setahun berikutnya, ia menulis beberapa buku, antara lain: Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau, Agama Islam, Kepentingan Tabligh, dan Ayat-ayat Mi’raj. Namun, beberapa di antara kayanya tersebut disita karena dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial yang sedang berkuasa ketika itu.
Sewaktu di Medan, orang-orang di kampungnya sudah berkali-kali
berkirim surat memintanya pulang, tetapi selalu ditolak oleh Hamka. Oleh
sebab itu, ayahnya meminta Ahmad Rasyid Sutan Mansur untuk menjemput dan membujuk Hamka pulang.[22] Bujukan kakak iparnya itu akhirnya membuat Hamka luluh, dan kemudian ia pulang ke kampung halamannya di Maninjau, sementara rumah ayahnya di Padang Panjang luluh lantah akibat gempa bumi pada tahun 1926. Setiba di kampung halamannya, ia diterima ayahnya dengan penuh haru hingga menitikkan air mata.
Ayahnya terkejut mengetahui Hamka telah berangkat haji dan pergi dengan
ongkos sendiri. Ayahnya bahkan berkata, "Mengapa tidak engkau beri tahu
bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu sedang
susah dan miskin. Kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah." Sejak saat itu, pandangan Hamka terhadap ayahnya mulai berubah. Namun, setelah sekitar setahun menetap di Sungai Batang,[36] ia kembali meninggalkan kampung halamannya.
Hamka pindah ke Medan pada tahun 1936.[37]
Di Medan, ia bekerja sebagai editor sekaligus menjadi pemimpin redaksi
sebuah majalah pengetahuan Islam yang didirikannya bersama M. Yunan Nasution, yaitu Majalah Pedoman Masyarakat.[38][39] Melalui Pedoman Masyarakat, ia untuk pertama kalinya memperkenalkan nama pena "Hamka".[40] Selama di Medan, ia menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah, yang terinspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927.[41] Setelah Di Bawah Lindungan Ka'bah diterbitkan pada tahun 1938, ia menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang pada awalnya ditulis sebagai cerita bersambung dalam Pedoman Masyarakat.[42] Selain itu, ia juga menerbitkan beberapa roman dan buku-buku lainnya seperti: Merantau ke Deli, Keadilan Ilahi, Tuan Direktur, Angkatan Baru, Terusir, Di Dalam Lembah Kehidupan, Ayahku, Tasawuf Modern, dan Falsafah Hidup.[43][39] Namun pada tahun 1943, Majalah Pedoman Masyarakat yang dipimpinnya dibredel oleh Jepang, yang ketika itu berkuasa di Indonesia.[44]
Karier dan kehidupan selanjutnya
Muhammadiyah
Setelah perkawinannya dengan Sitti Raham,[45]
Hamka aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah cabang Minangkabau, yang
cikal bakalnya bermula dari perkumpulan Sendi Aman yang didirikan oleh
ayahnya pada tahun 1925 di Sungai Batang.[46] Selain itu, ia sempat menjadi pimpinan Tabligh School, sebuah sekolah agama yang didirikan Muhammadiyah pada 1 Januari 1930.[47][48]
Sejak menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo
pada tahun 1928, Hamka tidak pernah absen menghadiri kongres-kongres
Muhammadiyah berikutnya. Sekembalinya dari Solo, ia mulai memangku
beberapa jabatan, sampai akhirnya ia diangkat sebagai Ketua Muhammadiyah
cabang Padang Panjang. Seusai Muktamar Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi pada tahun 1930, disusul dengan kongres berikutnya di Yogyakarta, ia memenuhi undangan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis.[49] Selanjutnya pada tahun 1932, ia diutus oleh Muhammadiyah ke Makassar dalam rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat rakyat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Makassar.[50] Selama di Makassar, ia sempat menerbitkan Al-Mahdi, majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan.[35] Pada tahun 1934, setahun setelah menghadiri Kongres Muhammadiyah di Semarang, ia diangkat menjadi anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Tengah.[48][51]
Kariernya di Muhammadiyah kian menanjak sewaktu ia pindah ke Medan.
Pada tahun 1942, bersamaan dengan jatuhnya Hindia Belanda ke dalam
tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan
Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Timur menggantikan H. Mohammad Said.[52]
Namun pada Desember 1945, ia memutuskan kembali ke Minangkabau dan
melepaskan jabatan tersebut. Pada tahun berikutnya, ia terpilih menjadi
Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto.[53] Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949.[54]
Pada tahun 1953, ia terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadyiah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto.
Sejak saat itu, ia selalu terpilih dalam Muktamar Muhammadiyah
selanjutnya, sampai pada tahun 1971 ia memohon agar tidak dipilih
kembali karena merasa uzur.[55] Akan tetapi, ia tetap diangkat sebagai penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.[56]
Meninggal dunia
Setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI, kesehatannya
menurun. Atas anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarga itu, ia
diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 18 Juli 1981, yang bertepatan dengan awal Ramadan.[57].
Pada hari keenam dirawat, ia sempat menunaikan salat Duha dengan bantuan putrinya, Azizah, untuk bertayamum.
Siangnya, beberapa dokter datang memeriksa kondisinya, dan kemudian
menyatakan bahwa ia berada dalam keadaan koma. Kondisi tersebut tetap
berlangsung sampai malam harinya. Tim dokter menyatakan bahwa ginjal,
paru-paru dan saraf sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, dan
kondisinya hanya bisa dipertahankan dengan alat pacu jantung.
Pada pukul 10 pagi keesokan harinya, anak-anaknya sepakat untuk
mencabut alat pacu jantung, dan Hamka menghembuskan napas terakhirnya
tidak lama setelah itu.[58]
Hamka meninggal dunia pada hari Jum'at, 24 Juli 1981
pukul 10 lewat 37 menit dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di
rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk
memberi penghormatan terakhir dihadiri Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim serta Menteri Perhubungan Azwar Anas yang menjadi imam salat jenazahnya.[59]
Jenazahnya dibawa ke Masjid Agung dan disalatkan lagi, dan kemudian
akhirnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta
Selatan, dipimpin Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara.[60]
Politik
Sejak masih muda, Hamka telah terlibat dalam aktivitas politik, yaitu ketika menjadi anggota Sarekat Islam pada tahun 1925 dan, setelah kemerdekaan ia aktif dengan Partai Masyumi.[61] Pada pemilihan umum 1955, ia terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante mewakili Jawa Tengah. Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak sesuai baginya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, akhirnya Hamka menerima pengangkatan tersebut.
Di Konstituante, ia bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa Anshari menjadi pihak yang paling konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia.
Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar dalam sila pertama Pancasila
dimasukkan kembali kalimat tentang "kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya", sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Jakarta.
Akan tetapi, pemikiran Hamka ditentang keras oleh sebagian besar
anggota Konstituante, yang umumnya berasal dari pihak komunis.
Selanjutnya, dalam sidang Konstituante di Bandung pada tahun 1957, ia menyampaikan pidato penolakannya atas gagasan Presiden Soekarno yang akan menerapkan Demokrasi Terpimpin. Namun, segala usahanya itu kandas setelah Soekarno membubarkan Dewan Konstituante melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan, perjalanan politik Hamka dapat dikatakan berakhir setelah Masyumi ikut dibubarkan oleh Presiden Soekarno.
Sikapnya yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali
berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa
kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan
oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966. Pada awalnya, Hamka diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di dalam penjara ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya.[61]
Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia
yang pertama. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi
penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973,
dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat
Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya
tersebut dengan diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan
pendiriannya.[62] Akan tetapi, pada tanggal 24 Juli 1981,
Hamka memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis
Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh
pemerintah Indonesia.
Sastra
Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932,
ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka
juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat,
dan Gema Islam.[63]
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam
maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat
menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki
Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain
Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.
Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.[63]
Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Kairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.[63]
Daftar karya
- Kenang-Kenangan Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
- Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya), Jakarta: Pustaka Wijaya, 1958.
- Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.
- Islam dan Adat, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
- Kepentingan Melakukan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
- Majalah Tentera, 4 nomor, Makassar, 1932.
- Majalah al-Mahdi, 9 nomor, Makassar, 1932.
- Bohong di Dunia, cet. 1, Medan: Cerdas, 1939.
- Agama dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.
- Pedoman Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.
- Majalah Semangat Islam, 1943.
- Majalah Menara, Padang Panjang, 1946.
- Hikmat Isra’ Mi’raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
- Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
- Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
- Revolusi Fikiran, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
- Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
- Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
- Revolusi Agama, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
- Sesudah Naskah Renville, 1947 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
- Tinjauan Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, 1949.
- Pribadi, 1950 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
- Falsafah Hidup, cet. 3, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.
- Falsafah Ideologi Islam, Jakarta: Pustaka Wijaya, 1950.
- Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Keluarga, 1951.
- Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
- K.H. A. Dahlan, Jakarta: Sinar Pujangga, 1952.
- Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad, cet. 3, Jakarta: Pustaka Islam, 1957.
- Pribadi, Jakarta: Bulan Bintang, 1959.
- Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
- Lembaga Hidup, cet. 6, Jakarta: Jayamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang di Singapura oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan, pada tahun 1995 dan 1999).
- 1001 Tanya Jawab tentang Islam, Jakarta: CV. Hikmat, 1962.
- Cemburu, Jakarta: Firma Tekad, 1962.
- Angkatan Baru, Jakarta: Hikmat, 1962.
- Ekspansi Ideologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
- Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1965 (awalnya merupakan naskah yang disampakannya pada orasi ilmiah sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958).
- Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
- Lembaga Hikmat, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
- Dari Lembah Cita-Cita, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
- Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
- Gerakan Pembaruan Agama (Islam) di Minangkabau, Padang: Minang Permai, 1969.
- Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1970.
- Islam, Alim Ulama dan Pembangunan, Jakarta: Pusat dakwah Islam Indonesia, 1971.
- Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
- Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
- Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
- Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
- Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Nurul Islam, 1974.
- Tanya Jawab Islam, Jilid I dan II cet. 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
- Studi Islam, Aqidah, Syari’ah, Ibadah, Jakarta: Yayasan Nurul Iman, 1976.
- Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976.
- Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980.
- Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
- Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
- Lembaga Budi, cet. 7, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
- Tasawuf Modern, cet. 9, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
- Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian, Jakarta: Yayasan Idayu, 1983.
- Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
- Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
- Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
- Filsafat Ketuhanan, cet. 2, Surabaya: Karunia, 1985.
- Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1985.
- Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
- Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
- Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995.
- Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963.
- Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
- Mengembara di Lembah Nil, Jakarta: NV. Gapura, 1951.
- Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta: Tintamas, 1953.
- Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta: Tintamas, 1953.
- Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.
- Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun 1939).
- Si Sabariah (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang: 1926.
- Laila Majnun, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
- Salahnya Sendiri, Medan: Cerdas, 1939.
- Keadilan Ilahi, Medan: Cerdas, 1940.
- Angkatan Baru, Medan: Cerdas, 1949.
- Cahaya Baru, Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.
- Menunggu Beduk Berbunyi, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
- Terusir, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
- Di Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka, 1958.
- Di Bawah Lindungan Ka'bah, cet. 7, Jakarta: Balai Pustaka, 1957.
- Tuan Direktur, Jakarta: Jayamurni, 1961.
- Dijemput Mamaknya, cet. 3, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
- Cermin Kehidupan, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
- Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, cet. 13, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
- Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan: Pustaka Nasional, 1929.
- Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan: Pustaka Nasional,1929.
- Sejarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950.
- Dari Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi, 1963.
- Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
- Sejarah Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
- Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih (terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
- Margaretta Gauthier (terjemahan karya Alexandre Dumas), cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Rujukan
- Catatan kaki
- ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 78.
- ^ a b c Shobahussurur 2008, hlm. 17.
- ^ Rahzen 2007, hlm. 246.
- ^ Yusuf 2003, hlm. 40.
- ^ a b Safrudin 2008, hlm. 198.
- ^ Reid dan Marr 1983, hlm. 40.
- ^ Yusuf 2003, hlm. 41.
- ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 260.
- ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1966, hlm. 26.
- ^ Yani 2010.
- ^ a b Azra 2002, hlm. 267.
- ^ Abidin 2005, hlm. 170.
- ^ a b Tamara, dkk 1983, hlm. 368.
- ^ Roesmar 2002, hlm. 27.
- ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 238.
- ^ Hamka 1982, hlm. 149.
- ^ Hakim 2005, hlm. 26.
- ^ Yusuf 2003, hlm. 43.
- ^ Shobahussurur 2008, hlm. 20.
- ^ Al-Kumayi 2004, hlm. 24.
- ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 470.
- ^ a b Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 529.
- ^ a b Tamara, dkk 1983, hlm. 198.
- ^ Abidin 2005, hlm. 231.
- ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 471.
- ^ a b Yusuf 2003, hlm. 46–47.
- ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 329.
- ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 98.
- ^ Hakim 2005, hlm. 31.
- ^ Mohammad 2006, hlm. 61.
- ^ Rosidi 2008, hlm. 346.
- ^ Al-Kumayi 2004, hlm. 25.
- ^ Shobahussurur 2008, hlm. 21.
- ^ Aiyub 2000, hlm. 142.
- ^ a b Safrudin 2008, hlm. 201.
- ^ Hamka 1986, hlm. 318.
- ^ Yusuf 2003, hlm. 45.
- ^ Zakariya 2006.
- ^ a b Safrudin 2008, hlm. 202.
- ^ Teeuw 1980, hlm. 104.
- ^ Teeuw 1980, hlm. 105.
- ^ Mahayana 2007, hlm. 168.
- ^ Hamka 1975, hlm. 28.
- ^ Mohammad 2006, hlm. 62.
- ^ Leirissa 1994, hlm. 89.
- ^ Hamka 1983, hlm. 73.
- ^ Abidin 2005, hlm. 171.
- ^ a b Yusuf 2003, hlm. 48.
- ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 472.
- ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 384.
- ^ Hakim 2005, hlm. 27.
- ^ Toer, dkk 1999, hlm. 246.
- ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 20.
- ^ Muhammadiyah 2005, hlm. 144.
- ^ Shobahussurur 2008, hlm. 24.
- ^ Al-Kumayi 2004, hlm. 30.
- ^ Irfan 2013, hlm. 274.
- ^ Irfan 2013, hlm. 279.
- ^ Irfan 2013, hlm. 280.
- ^ Irfan 2013, hlm. 282.
- ^ a b Republika 2011.
- ^ Hashim, Rosnani (2010). Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago. The Other Press. ISBN 9839541749.
- ^ a b c Irfan 2013, hlm. 290.
- Daftar pustaka
- Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam (2002). "Ensiklopedia Islam, Jilid 4". Departemen Agama (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve). ISBN 979-8276-65-5.
- Shobahussurur (2008). Mengenang 100 tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah Hamka. Jakarta: Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar. ISBN 979-177-850-7.
- Herry, Mohammad (2006). Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Gema Insani. ISBN 979-560-219-5.
- Hashim, Rosnani (2010). Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago. The Other Press. ISBN 983-954-174-9.
- "Cukup Allah sebagai Pelindung: Kisah Hamka di Penjara Sukabumi". Republika. 26 November 2011. Diakses 20 Desember 2011.
- Daneel, Inus; Charles Van Engen, Hendrik Vroom (2005). Fullness of Life for All—Challenges for Mission in Early 21st Century. Rodopi. ISBN 904-201-971-9.
- Rodgers, Susan (1995). Telling Lives, Telling History: Autobiography and Historical Imagination in Modern Indonesia. University of California Press. ISBN 052-008-547-7.
- Zakariya, H. (2006). Islamic Reform in Colonial Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh Al-Hadi. ProQuest. ISBN 054-286-357-X.
- Abdurrahman, M. (2009). Bersujud di Baitullah. Penerbit Buku Kompas. ISBN 979-709-437-5.
- Riddell, P. G. Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission and Responses. C. Hurst & Co. Publishers. ISBN 185-065-336-4.
- Hamka, Afif (2008). Buya Hamka. Uhamka Press. ISBN 602-804-007-X.
- Pandoe, M.D.; Pour, Julius (2010). Jernih Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas. Penerbit Buku Kompas. ISBN 979-709-487-1.
- Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Buya Prof. Dr. Hamka (1983). Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Pustaka Panjimas.
- Hamka (1966). Kenang-kenangan Hidup. Kuala Lumpur: Pustaka Antara.
- Hamka, Rusydi (1983). Pribadi dan Martabat Buya Prof. Hamka. Jakarta: Pustaka Panjimas.
- Tamara, Natsir (1996). Hamka di Mata Hati Umat. Jakarta: Sinar Harapan.
- Noer, Deliar (1996). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
- Noer, Deliar (2001). Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa. Bandung: Mizan.
- Mahayana, Maman S; Oyon Sofyan dan Achmad Dian (1995). Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo. ISBN 978-979-553-123-4.
- Siregar, Bakri (1964). Sedjarah Sastera Indonesia 1. Jakarta: Akademi Sastera dan Bahasa "Multatuli". OCLC 63841626.
- Teeuw, A (1980). Sastra Baru Indonesia 1. Ende: Nusa Indah. OCLC 222168801.
- Rahzen, Taufik (2007). Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia. Blora Institute. ISBN 979-150-938-7.
- Safrudin, Irfan (2008). Ulama-ulama Perintis: Biografi Pemikiran dan Keteladanan. Bandung: Majelis Ulama Indonesia.
- Reid; Marr, David G. (1983). Dari Raja Ali Haji hingga Hamka. Grafiti Pres.
- Yusuf, M. Yunan (2003). Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar. Penamadani. ISBN 979-976-700-8.
- Azra, Azyumardi (2002). Historiografi Islam Kontemporer. Gramedia Pustaka Utama.
- Abidin, Masoed. Ensiklopedi Minangkabau. Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. ISBN 979-379-723-1.
- Hakim, Ahmad; Thalhah, M. (2005). Politik Bermoral Agama. UII Press. ISBN 979-333-306-5.
- Rosidi, Ajip (2008). Yang Datang Telanjang: Surat-surat Ajip Rosidi dari Jepang, 1980–2002. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 979-910-095-X.
- Al-Kumayi, Sulaiman (2004). Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym. Pustaka Nuun. ISBN 979-983-531-3.
- "Palagan Hamka dan Lentera "Pram"". Kompas. Jakarta. 2012-03-20. Diakses 12 Juni 2012.
- "Hamka Menggebrak Tradisi". Tempo. Jakarta. 2008-05-19. Diarsipkan dari aslinya tanggal 4 Juni 2012. Diakses 4 Juni 2012.
- Hamka, Irfan (2013). Ayah... Kisah Buya Hamka. Penerbit Republika. ISBN 978-602-8997-71-3
Komentar
Posting Komentar