Syaikh Al-Islam Zakariyya Al-Anshari : Penulis Syarah dan Hasyiyah paling Produktif
Syaikh Al-Islam Zakariyya Al-Anshari : Penulis Syarah dan Hasyiyah paling Produktif |
Karya-karya
Syaikh Zakariyya berkisar pada bidang aqidah, fiqih, ushul fiqh,
faraidh, manthiq, tasawuf, hadits, nahwu, dan sebagainya. Bagi kalangan santri dan pelajar, nama Syaikh Al-Islam Zakariyya Al-Anshari sedemikian lekatnya di hati mereka. Ulama sekaligus penulis dengan segudang aktivitas ini adalah pengarang kitab fiqih Minhaj ath-Thullab dan Fath al-Wahhab, yang rutin dikaji di berbagai institusi keislaman, seperti pesantren, madrasah, maupun majelis ta’lim. Di kalangan ulama Syafi’iyyah kontemporer, dalam penggalian hukum, mereka banyak merujuk pada kitab Nihayatul Muhtaj dan Tuhfatul Muhtaj. Namun apabila ada persoalan yang tidak dibahas di kedua kitab itu, karya-karya Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari-lah yang dijadikan acuan, khususnya kitab Minhaj ath-Thullab dan Al-Ghurar al-Bahiyyah. Ini menunjukkan bahwa kapasitas pengarangnya memang sangat diakui di kalangan ulama Syafi’iyyah. Gerangan siapakah tokoh besar ini? Bagaimanakah sepak terjang keilmuannya? Hidup Prihatin Nama lengkapnya adalah Zainuddin Abu Yahya Zakariyya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariyya Al-Anshari Al-Khazraji As-Sunaiki Al-Qahiri Al-Azhari Asy-Syafi’i. Tak ada kepastian tahun kelahirannya, namun Imam As-Suyuthi, ulama yang hidup semasanya dan juga kawannya, memprediksi, tahun kelahiran Al-Anshari adalah 824 H, di Sunaikah, desa kecil yang terletak antara kota Bilbis dan Al-Abbasiyah, timur Mesir. Semenjak balita ia telah ditinggal wafat ayahnya. Zakariyya adalah putra satu-satunya pasangan suami-istri yang berpisah oleh kematian itu. Hanya berdua dengan ibunya, Zakariyya kecil menjalani kehidupan yang cukup berat. Al-Ghuzzi menceritakan dari Syaikh Shalih Rabi’ bin Abdullah As-Sulami bahwa suatu ketika Syaikh Shalih berkunjung ke Desa Sunaikah, kampung halaman Zakariyya, dan mendapati seorang perempuan yang meminta pekerjaan kepadanya, demi keluarganya. Wanita itu tak lain adalah ibu Zakariyya. Ibu Zakariyya lalu meminta kepada Syaikh Shalih untuk membawa Zakariyya ke kota besar Kairo. Syaikh Shalih berkata, “Jika Ibu setuju, akan saya bawa Zakariyya ke Al-Azhar untuk membantu pekerjaan dan sekaligus belajar di sana. Saya akan menanggung kehidupannya.” Sang ibu pun menyetujuinya, demi masa depan putranya. Semasa tinggal di Desa Sunaikah, Zakariyya kecil sudah mahir membaca Al-Qur’an dan mempelajari kitab ‘Umdah al-Ahkam dan Mukhtashar at-Tabrizi. Kesukaannya terhadap bidang hafalan berlanjut saat ia belajar di Al-Azhar. Dalam rentang waktu yang terbilang pendek, Zakariyya muda telah hafal Al-Qur’an dan beberapa kitab, seperti Al-Minhaj, Alfiyah Ibn Malik, Asy-Syathibiyyah, Alfiyyah al-Hadits, dan beberapa kitab lainnya. Inilah rihlah pertamanya belajar ke Al-Azhar. Tak lama setelah itu, ia kembali ke kampung halamannya, untuk bekerja. Beberapa waktu kemudian Zakariyya muda kembali ke Kairo untuk kembali belajar di Al-Azhar. Pada rihlah keduanya ini, ia belajar kitab Syarh al-Bahjah, Al-‘Adhud, Syarh al-‘Ibari, Syarh Tashrif al-‘Izzi, dan banyak lagi. Ia mempelajari hampir semua kitab dalam berbagai macam cabang keilmuan, termasuk matematika, seni menulis indah, dan ilmu retorika. Ghirahnya yang begitu besar untuk belajar telah menempatkannya pada hasil yang memuaskan. Jangan heran bilamana para gurunya pun memberi pujian dan ijazah yang sempurna. Tak kurang dari 150 ijazah diberikan kepadanya, termasuk ijazah dari Al-Hafizh Al-Asqalani, yang menuliskan kata-kata dalam ijazahnya, “Aku izinkan bagi Zakariyya untuk membaca Al-Qur’an dengan jalur periwayatan yang ditempuhnya, dan mengajarkan fiqih yang telah dituliskan dan diserahkan Al-Imam Asy-Syafi’i. Kepada Allah, kami, aku dan Zakariyya, memohon pertolongan untuk kelak dapat bersua dengan-Nya.” Para ulama selain Al-Asqalani juga memberikan pujian dan izin yang sama, sehingga, sebagaimana dikatakan Al-‘Aydarusi, sudah menjadi hal yang lumrah bilamana Zakariyya muda telah dibolehkan mengajar di samping para gurunya. Inilah yang menjadi cikal bakal keulamaannya pada waktu berikutnya. Tentang akhlaqnya, Al-‘Ala-i berkata, “Al-Qadhi Zakariyya telah menyatukan ilmu pengetahuan, wawasan, dan karya tulisnya, dengan akhlaqnya yang mulia dan kebaikan langkahnya di hadapan para ulama besar yang diambil ilmunya, yang belum pernah ada pada ulama sebayanya.” Ia juga mengutarakan rasa terima kasihnya yang mendalam kepada Syaikh Rabi’ bin Abdullah As-Sulami beserta keluarga, yang telah merawat dan mendidiknya dengan penuh perhatian. “Bagiku, Syaikh Rabi’ adalah orang yang utama. Maka mudah-mudahan Allah mencukupi segala kebutuhannya, mengangkat kemuliaan untuknya dan keluarganya, khususnya istrinya, yang telah membesarkan dan merawatku,” ujar Zakariyya. Namun tidak sepenuhnya Zakariyya muda mengandalkan penghidupan yang diberikan dengan penuh kasih sayang dari keluarga Syaikh Rabi’ itu. Pernah suatu waktu ia memilih untuk meninggalkan kediaman keluarga yang amat baik kepadanya itu, dengan menetap di emperan masjid Al-Azhar. Bila malam terasa dingin dan membuat perutnya lapar, ia menahannya, atau terpaksa memakan sisa makanan, seperti kulit semangka, yang sudah dibuang orang. Posisi Keilmuan Guru Syaikh Zakariyya sangat banyak. Menurut para penulis biografi ulama, guru Zakariyya mencapai lebih dari 150 orang. Di antara guru-gurunya yang terkemuka adalah Syaikh Zainuddin Abu Dzar Abdurrahman bin Muhammad Az-Zarkasyi Al-Hanbali, Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Ali Al-Qayati, Ibn Al-Majdi Syaikh Abu Al-‘Abbas Ahmad bin Rajab bin Thubaigha Asy-Syafi’i, Ibn Al-Furat Al-Qadhi ‘Izzuddin Abdurrahim Al-Mishri Al-Hanafi, Syaikh al-Hafizh Abu Al-Fadhl Ahmad Al-‘Asqalani, Syaikh Abu Al-Yaman Muhammad bin Muhammad Al-Hasyimi Al-‘Uqaili Al-Makki, Syaikh Abu Al-Fath Muhammad bin Abubakar Al-Qurasyi Al-‘Utsmani, Ibn Zhuhairah Muhammad Al-Qurasyi Al-Makhzumi Al-Makki, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli, Muhyiddin Al-Kafiyaji. Sedangkan di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Hamzah bin Abdullah An-Nasyiri Al-Yamani, Jamaluddin Abu Abdillah Abdul Qadir bin Hasan Ash-Shani Al-Qahiri, Tajuddin Abdul Wahhab Ad-Danjihi Al-Mishri, ali bin Muhammad Al-Maqdisi, Al-Imam Al-‘Allamah Fakhruddin Utsman As-Sinbathi, Al-Qadhi Muhammad bin Ahmad Al-Farfur Ad-Dimasyqi, Syaikh Taqiyyuddin Abubakar bin Muhammad Al-Qari Ad-Dimasyqi, dan lain-lain. Syaikh Zakariyya mempunyai posisi keilmuan di berbagai tempat di Mesir, seperti di majelis Imam Asy-Syafi’i, yang juga sekaligus makamnya. Tentang hal ini Al-‘Aydarusi berkata, “Tidak ada ulama seperti Syaikh Zakariyya yang menempati kedudukan mengajar di majelis Imam Asy-Syafi’i.” Kemudian mengajar di khanaqah (tempat untuk khalwat) kaum sufi, dan menjabat kepala hakim (qadhi al-qudhat) pada masa pemerintahan Dinasti Qaitbay selama 20 tahun. Tentang sebab akhir posisinya sebagai kepala hakim, ada beberapa riwayat menyatakan hal yang berbeda. Ada yang mengatakan lantaran usianya telah uzur dan matanya buta, ada pula yang menyatakan lantaran terjadi perselisihan antara Syaikh Zakariyya dan Sultan Muhammad Qaitbay. Berbagai Bidang Di samping berbagai kesibukannya itu, Syaikh Zakariyya juga menyempatkan waktunya untuk menulis buku. Ia dikenal sebagai penulis syarah dan hasyiyah yang ulung. Ini menunjukkan keluasan dan kedalaman pengetahuannya, sebagaimana tampak dalam karya-karyanya. Karya-karya Syaikh Zakariyya berkisar pada bidang aqidah, fiqih, ushul fiqh, faraidh, manthiq, tasawuf, hadits, nahwu, dan sebagainya. Tak kurang dari 50 karya dalam berbagai bidang tersebut yang ditulisnya semasa hidupnya yang panjang. Di antara karya syaikh Zakariyya adalah Ahkam ad-Dilalah ‘Ala Tahrir ar-Risalah (syarah atas kitab tasawuf Imam Al-Qusyairi, Ar-Risalah al-Qusyairiyyah), Adab al-Qadhi ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i, Adhwa` al-Bahjah fi Ibraz Daqa`iq al-Munfarijah, Bulugh al-Arab bi Syarh Syudzur adz-Dzahab (syarah atas kitab Nahwu Ibn Hisyam, Syudzur adz-Dzahab), Bahjah Al-Hawi (syarah kitab fiqih Al-Hawi ash-Shaghir karya Al-Qazwaini), Tahrir Tanqih al-Lubab, Tuhfah ath-Thullab, Lubb al-Ushul, At-Tuhfah al-‘Aliyyah fi al-Khithab al-Minbariyyah, Tuhfah Nujaba` al-‘Ashr, Hasyiyah ‘ala Syarh Alfiyyah Ibn Malik, Hasyiyah ‘ala Syarh al-Mahalli ‘ala Jam’i al-Jawami’, Hasyiyah ‘ala Syarh al-Bahjah li al-‘Iraqi, Hasyiyah ‘ala Syarh al-Muqaddimah al-Jazariyyah, Ad-Durar as-Saniyyah fi Syarh Alfiyyah, Az-Zubdah ar-Ra`iqah fi Syarh al-Burdah al-Fa`iqah, Syarh Al-Jami’ ash-Shahih lil Bukhari, Syarh Shahih Muslim, Syarh asy-Syamsiyyah, Syarh Thawali’ Al-Anwar lil Baydhawi, Syarh Mukhtashar lil Muzani, Ghayah al-Wushul ila Syarh al-Fushul, Al-Ghurar al-Bahiyah bi Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah, Fath al-Ilah al-Majid, Fath al-Baqi bi Syarh Alfiyyah al-‘Iraqi, Fath al-Jalil bi Bayan Khafiy Anwar at-Tanzil, Fath al-Wahhab bi Syarh al-Adab, Fath al-Wahhab bi Syarh Minhaj ath-Thullab, Al-Futuhat al-Ilahiyyah fi Naf’i Arwah adz-Dzawat al-Insaniyyah, Al-Lu`lu` an-Nazhim fi Rawm at-Ta’allum wat Ta’lim, Al-Mathla’ fi Syarh Isaghuji, Al-Maqshad li Talkhish mafi al-Mursyid, Manhaj al-Wushul ila Takhrij al-Fushul, Nihayah al-Hidayah fi Syarh al-Kafiyah, dan Nahj ath-Thullab fi Minhaj ath-Thalibin lin Nawawiy. Faqih dan Sufi Secara istiqamah Syaikh Zakariyya belajar mengaji di Al-Azhar dan halaqah-halaqah gurunya. Ia mendengarkan pengajian para ulama, baik ulama ahli fiqh maupun tasawuf secara khusus, hingga akhirnya ia pun menjadi seorang tokoh fiqih dan tasawuf. Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani berkata, “Selama dua puluh tahun melayani beliau, tidak pernah saya dapati beliau alpa sedikit pun. Beliau tidak pernah melakukan suatu pekerjaan yang tidak ada artinya, baik siang maupun malam.” Seiring dengan bertambahnya usia, ia selalu melakukan shalat sunnah secara sempurna. Ia berkata, “Saya tidak ingin diri ini kembali ke pangkuan Allah sebagai seorang yang malas.” Dalam waktu yang cukup lama, ia menyempatkan diri untuk berdiam diri dalam sebuah khanaqah bernama Sa’id As-Su’ada‘. Dalam khanaqah ini, ia selalu berkumpul dengan para ahli sufi untuk mengambil manfaat dari ilmu mereka. Demikian juga mereka mengambil manfaat ilmunya dalam fiqih dan pengetahuan syari’at lainnya. Kehidupan di khanaqah ini banyak mempengaruhi alam pikirannya, sehingga lahirlah beberapa karya di bidang ini, seperti Ahkam ad-Dilalah, Al-Ghurar al-Bahiyah, serta Fath al-Jalil bi Bayan Khafiy Anwar at-Tanzil, sebuah catatan pinggir dalam kitab tafsir Al-Baidhawi. Khanaqah Sa’id As-Su’ada’ merupakan tempat yang sangat bersejarah dalam sejarah karya intelektualnya. Tempat kaum sufi berkumpul ini konon adalah pertama kali yang berdiri di Mesir bagi kaum sufi. Syaikh Zakariyya telah mempersiapkan dirinya di khanaqah ini untuk menulis beberapa karyanya yang besar, misalnya Syarh al-Bukhari. “Makamku dekat Makam Imam Asy-Syafi’i” Syaikh Zakariyya berpulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Dzulhijjah 926 H/27 November 1520 M dalam usia 100 tahun lebih. Selama itu hidupnya diisi penuh dengan ilmu, pendidikan, dakwah, dan mengajar, hingga ia diuji dengan kebutaan mata. Syaikh Asy-Sya’rani berkisah tentang kenangan sebelum wafatnya, wujud karamah yang Allah berikan kepada Syaikh Zakariyya. “Suatu hari aku mengaji Syarh Al-Bukhari kepada Syaikh Zakariyya. Saat aku tengah membaca, ia berkata, ‘Cukup, ceritakan kepadaku mimpimu semalam.’ Memang aku bermimpi. Aku bersama Syaikh Zakariyya berada dalam suatu kapal yang layarnya dari sutra, permadaninya dari sutra hijau tipis, dan ada banyak balai-balai dan bantal dari sutra. Di situ aku melihat Imam Asy-Syafi’i tengah duduk dan Syaikh Zakariyya berada di sampingnya. Kapal ini terus berjalan menyusuri taman-taman dan pemandangan lainnya yang sangat indah dan mengesankan. Selesai aku bercerita tentang mimpi itu, Syaikh Zakariyya berkata, ‘Kalau mimpimu ini benar, kelak aku akan dimakamkan di samping Imam Syafi’i RA’.” Ketika Syaikh Zakariyya meninggal, para muridnya telah menyiapkan makam untuknya di Bab An-Nashr, jauh dari pemakaman Imam Asy-Syafi’i. Ketika Asy-Sya’rani mengisahkan ihwal mimpi dan dialognya dengan sang guru, seorang kawannya menuduhnya dusta. Pada saat ta’ziyah itu, utusan dari Pangeran Khair Beik, wakil Sultan Qaitbay, berkata, “Raja sedang sakit saat ini sehingga tidak mampu datang berta’ziyah. Raja memerintahkan kalian untuk membawa jenazah Syaikh Zakariyya ke Lapangan Qal’ah untuk dishalati di sana.” Usai shalat Jenazah, yang dihadiri ribuan manusia, Pangeran Khair Beik berkata, “Makamkan Syaikh Zakariyya di pekuburan Syaikh Najmuddin Al-Khayusyani di depan makam Imam Asy-Syafi’i.” Ucapannya saat masih hidup pun terbukti di saat wafatnya itu. Subhanallah! Syaikh Zakariyya meninggalkan beberapa orang putra yang meneruskan jalan kealimannya, di antaranya Jamaluddin Yusuf bin Zakariyya, yang disebut sebagai ‘alim al-‘allamah (seorang yang pintar dan berpengetahuan amat luas). Menurut Haji Khalifah, seorang ulama lainnya, putra Syaikh Zakariyya ini menulis syarah beberapa kitab mukhtashar (ringkasan) Madzhab Syafi’iyyah, seperti kitab At-Tahrir fi Ushul al-Fiqh li Ibn Hammam. Putranya yang lain yang memiliki nama yang sama dengannya, Zakariyya, juga dikenal kealimannya. Cucunya pun demikian, yang juga bernama Zakariyya, dikenal sebagai ulama terpandang. Dalam hal ini, Al-Ghuzzi, seorang penulis biografi ulama, menyebutkan, “Zakariyya putra Zakariyya, seorang guru besar yang alim, cucu guru besar umat Islam Al-Qadhi Zakariyya Al-Anshari, adalah seorang cucu yang disayangi oleh kakeknya dengan penuh kasih sayang.” |
Komentar
Posting Komentar