KH. Abdul Wahab Hasbullah
Abdul Wahab Hasbullah
K.H. A. Wahab Hasbullah | |
---|---|
Lahir | 31 Maret 1888 Jombang, Jawa Timur, Hindia Belanda |
Meninggal | 29 Desember 1971 (umur 83) Jombang, Jawa Timur, Indonesia |
Pekerjaan | Ulama, pemikir Islam |
Dikenal karena | Rais Am Syuriah Nahdlatul Ulama |
Gelar | Pahlawan Nasional Indonesia |
Pendahulu | K.H. M. Hasyim Asy'arie |
Pengganti | K.H. Bisri Syansuri |
Agama | Islam |
Anak | K.H.M. Wahib Wahab, |
Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah (lahir di Jombang, 31 Maret 1888 – meninggal 29 Desember 1971 pada umur 83 tahun) adalah seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama.
KH Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan modern,
dakwahnya dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu
harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita
Nahdlatul Ulama. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 November 2014[1].
Keluarga
Ayah KH Abdul Wahab Hasbullah adalah KH Hasbulloh Said, Pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah.
Pendidikan
Ia juga seorang pelopor dalam membuka forum diskusi antar ulama, baik di lingkungan NU, Muhammadiyah dan organisasi lainnya. Ia belajar di Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang, belajar pada Syaikhona R. Muhammad Kholil Bangkalan, Madura, dan Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy‘ari. Disamping itu, Kyai Wahab juga merantau ke Mekkah untuk berguru kepada Syaikh Mahfudz at-Tirmasi dan Syaikh Al-Yamani dengan hasil nilai istimewa.
Aktivitas di Nahdatul Ulama
KH. Abdul Wahab Hasbulloh merupakan bapak Pendiri NU Selain itu juga
pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan
penjajah Jepang. Ia juga tercatat sebagai anggota DPA bersama Ki Hajar Dewantoro. Tahun 1914 mendirikan kursus bernama “Tashwirul Afkar”.
Tahun 1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam bernama Nahdlatul Wathan, kemudian pada 1926
menjadi Ketua Tim Komite Hijaz. KH. Abdul Wahab Hasbulloh juga seorang
pencetus dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua
badan, Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan Tua
dengan Muda.
Pelopor Kebebasan Berpikir
KH. A. Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan
Umat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. KH. A. Wahab
Hasbullah merupakan seorang ulama besar Indonesia. Ia merupakan seorang
ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama
kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai Abdul Wahab Hasbullah
membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang
terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang
diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan
kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi
sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh
Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk
memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga
menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh
nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan
generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan
progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi
ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada
pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Abdul Wahab Hasbullah bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916.
Dari organisasi inilah Kyai Abdul Wahab Hasbullah mendapat kepercayaan
dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran
dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kyai Bisri Syansuri
(Denanyar Jombang), Kyai Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), Kyai Alwi
Abdul Aziz, Kyai Ma’shum (Lasem) dan Kyai Cholil (Kasingan Rembang).
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori Kyai Wahab Hasbullah
dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpentingnya kepada
kaum muslimin Indonesia. Kyai Wahab telah mencontohkan kepada generasi
penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat
dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan
berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat
beragama dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan
berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan
problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman.
Pernah suatu ketika Kyai Wahab didatangi seseorang yang meminta fatwa
tentang Qurban yang sebelumnya orang itu datang kepada Kyai Bisri
Syansuri. “Bahwa menurut hukum Fiqih berqurban seekor sapi itu pahalanya
hanya untuk tujuh orang saja”, terang Kyai Bisri. Akan tetapi Si Fulan
yang bertanya tadi berharap anaknya yang masih kecil bisa terakomodir
juga. Tentu saja jawaban Kyai Bisri tidak memuaskan baginya, karena
anaknya yang kedelapan tidak bisa ikut menikmati pahala Qurban. Kemudian
oleh Kyai Wahab dicarikan solusi yang logis bagi Si Fulan tadi. “Untuk
anakmu yang kecil tadi belikan seekor kambing untuk dijadikan lompatan
ke punggung sapi”, seru kyai Wahab.
Dari sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui dengan jelas
bahwa seni berdakwah di masyarakat itu memerlukan cakrawala pemikiran
yang luas dan luwes. Kyai Wahab menggunakan kaidah Ushuliyyah “Maa laa
yudraku kulluh, laa yutraku julluh”, Apa yang tidak bisa diharapkan
semuanya janganlah ditinggal sama sekali. Di sinilah peranan Ushul Fiqih
terasa sangat dominan dari Fiqih sendiri.
Seorang Inspirator GP Ansor
Dari catatan sejarah berdirinya GP Ansor dilahirkan dari rahim
Nahdlatul Ulama (NU). Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional
dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi
keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh
dan pembinaan kader. KH. Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan
KH. Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan
yang berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan
organisasi kepemudaan Islam. Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924
para pemuda yang mendukung KH. Abdul wshab hasbulloh –yang kemudian
menjadi pendiri NU– membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda
Tanah Air).
Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).
Nama Ansor
ini merupakan saran KH. Abdul Wahab Hasbullah —ulama besar sekaligus
guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang
diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa
dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian ANO
dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap,
perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat
predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada
nilai-nilai dasar sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan
bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran
Islam.
Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal
organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada
Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934,
ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU.
Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur
kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH. Machfudz
Siddiq, KH. A. Wahid Hasyim, KH. Dachlan
Komentar
Posting Komentar