Konsep Akhlak Perspektif al Ghazali
Konsep Akhlak Perspektif al Ghazali
Konsep Akhlak Perspektif al Ghazali [1]
Mukaddimah
Akhlak tidak hanya the art of living yang
mengajarkan bagaimana cara hidup bahagia, atau bagaimana memperoleh
kebahagiaan tetapi juga merupakan ilmu yang harus dipelajari dan
dipraktekkan sebelum ilmu yang lainnya, bahkan ia menjadi bukti kualitas
iman seorang mukmin. Ibnu Miskawaih melalui Tahdzîbul Akhlaq, al Farabi melalui Tahshîlus Sa’âdah, dan al ‘Âmirî melalui as Sa’âdah wal Is’âd-nya
menjelaskan bahwa akhlak yang baik adalah salah satu cara untuk
mendapatkan kebahagiaan, karena memang kebahagiaan merupakan tujuan
utama akhlak.[2] Bahkan Socrates, mu’assisul falsafah al akhlâqiyyah, berkeyakinan
bahwa tidak ada sesuatu yang lebih penting bagi manusia daripada
mendidik akhlaknya sebelum berbicara masalah yang lainnya. (annahu I’taqada anna lâ syai’a ahammu lil insâni min tahdzîbi akhlâqihi qablal khaudhi fîmâ warâ’a dzâlika). [3]
Lebih dari itu, Ibnu Qayyim al Jauziyyah menyebutkan bahwa bukti
kualitas iman seseorang adalah perbuatan anggota badan –termasuk akhlak
yang baik, tidak hanya spritualitas batin semata. Beliau menjelaskan, “Iman
memiliki bentuk zhahir dan batin. Zhahir iman adalah perkataan lisan
dan perbuatan anggota badan, sedangkan batinnya adalah kepercayaan hati,
ketundukan dan kecintaannya. Zhahir tidak bermanfaat manakala tidak
memiliki batin, walaupun sampai mengucurkan darah, dan mengorbankan
harta benda dan anak keturunan. Batin tanpa dibarengi dengan lahir juga
tidak cukup kecuali bila ia tidak mampu melakukannya (lemah), dipaksa
dan khawatir binasa. Tidak melakukan suatu perbuatan lahir tanpa ada
halangan menunjukkan rusaknya batin dan kekosongan iman. Kurangnya amal
zhahir menunjukkan kurangnya batin, dan kekuatan amal zhahir menunjukkan
kekuatan batin. Keimanan adalah hati dan inti Islam, sedangkan
keyakinan adalah hati dan inti iman. Setiap ilmu dan amal yang tidak
menambah kekuatan iman dan keyakinan adalah cacat, dan setiap keimanan
yang tidak membangkitkan untuk beramal adalah cacat.”[4]
Mengingat urgensitas pembahasan
akhlak inilah, penulis berusaha membahas konsep akhlak menurut filosof
muslim yang banyak berkontribusi dalam khazanah pemikiran Islam, yaitu
Imam al Ghazali. Sekalipun beberapa topik yang dibahas dalam mendidik
dan memperbaiki akhlak ini tidak luput dari pengaruh pemikir seniornya,
terutama Ibnu Miskawaih, tetapi pembahasan al Ghazali lebih sistematis,
jelas dan memuaskan. Hal ini menunjukkan rasionalitas, sistematika,
kekuatan logika, kedalaman pengamatan, kemampuan yang luar biasa dalam
menganalisa perilaku, kemampuan menyelami kedalaman jiwa, pengetahuan
yang mendalam tentang kondisi jiwa serta metode pendidikan dan terapi
jiwa dari al Ghazali.
Pembahasan dalam makalah ini
mencakup definisi akhlak, pembagian akhlak dan hakikatnya, kemungkinan
perubahan akhlak dan metode untuk merubah akhlak yang buruk sebagaimana
yang banyak dibahas oleh al Ghazali di dalam buku masterpiece-nya, Ihya’ ‘Ulûmiddîn.
Definisi Akhlak
Secara etimologi, kata “al Akhlak” yang merupakan jama’ dari “al Khuluq” memiliki banyak makna, yaitu ath Thabi’ah[5] atau ath Thab’u (tabiat), ad Dîn (agama)[6] dan as Sajiyyah (perangai).[7] “Hakikat al Khuluq”,
kata Ibnu Manzhur, “dipergunakan untuk bentuk manusia yang tidak tampak
yaitu jiwa, sifat-sifat dan makna-maknanya yang khusus berkaitan
dengannya, sebagaimana al Khalqu dipergunakan untuk bentuk manusia yang tampak, sifat-sifat dan makna-maknanya. Keduanya sama-sama memiliki sifat baik dan jelek (hasanatun wa qabîhatun), balasan dan hukuman (ats tsawâb wal ‘iqâb) dimana
keduanya banyak berkaitan erat dengan sifat-sifat bentuk yang tidak
tampak daripada sifat-sifat bentuk yang nampak. Oleh karenanya, banyak
hadits Nabi yang memuji akhlak yang baik di banyak tempat, seperti, “Sesungguhnya yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.”, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya”, “Sesungguhnya seorang bisa melampaui derajat orang puasa yang shalat malam dengan kebagusan akhlaknya.” dan “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” [8]
Sedangkan secara terminologi, Hujjatul
Islam Abu Hamid al Ghazali mendefinisikan akhlak dengan, “Ungkapan
tentang kondisi yang menetap di dalam jiwa, dimana semua perilaku
bersumber darinya dengan penuh kemudahan tanpa memerlukan proses
berpikir dan merenung.[9]
Apabila kondisi jiwanya menjadi sumber perbuatan-perbuatan yang baik
lagi terpuji, baik secara akal dan syariat, maka kondisi itu disebut
sebagai akhlak yang baik, dan apabila yang bersumber darinya adalah
perbuatan-perbuatan yang jelek, maka kondisi itu disebut sebagai akhlak
yang buruk.” (’Ibâratun ‘an haiatin fin nafsi râsikhatin, ‘anha
tashdurul af’âl bi suhûlatin wa yusrin min ghairi hâjatin ila fikrin wa
rawiyyatin, fa in kânatil hai’ah bi haitsu tashduru ‘anhal af’âl al
jamîlah al mahmûdah ‘aqlan wa syar’an summiyat tilkal hai’ah khuluqan
hasanan, wa in kânash shâdir ‘anhal af’âl al qabîhah summiyatil hai’ah al latî hiyal mashdar khuluqan sayyi’an ). [10] [11]
Al Jurjani juga mendefinisikan akhlak sebagaimana Imam al Ghazali, “Hai’atun lin nafsi râsikhatun tashduru ‘anhâl af’âl bi suhûlatin wa yusrin min ghairi hâjatin ilâ fikrin wa rawiyyatin”. [12]
Ibnu Miskawaih, filosof muslim pertama
yang membahas tentang akhlak juga mendefinisikan serupa. Menurutnya,
makna akhlak adalah, “suatu kondisi jiwa yang mendorong untuk
melakukannya tanpa berpikir dan merenung.” (Hâlun lin nafsi dâ’iyatun laha ila af’âlihâ min ghairi fikrin wa rawiyyatin). [13]
Sedangkan al Jahizh (255 H) juga
mendefinisikan akhlak dengan, “Kondisi jiwa dimana manusia melakukan
perbuatan-perbuatannya tanpa proses merenung dan memilih.” (hâlun nafsi bihâ yaf’alul insanu af’âlahu bi lâ rawiyyatin wa lâ ikhtiyârin). [14]
Sementara Abdurrahman al Maidani
mendefinisikan akhlak dengan, “Sifat yang menetap di dalam jiwa, baik
itu bawaan maupun diusahakan, yang memiliki pengaruh dalam perilaku,
entah itu baik atau buruk.” (Shifatun mustaqirratun fin nafsi fithriyyatan au muktasabatan dzâtu âtsârin fis sulûki mahmûdatan au madzmûmatan). [15]
Dari semua definisi akhlak[16] yang dipaparkan oleh jumhur ulama’ di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa akhlak memiliki 3 ciri, yaitu; pertama, akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga sudah menjadi karakternya; kedua,
akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa
pemikiran; ini tidak berarti bahwa saat melakukan sebuah perbuatan, yang
bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau
gila; ketiga, akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
Pembagian Akhlak dan Hakikatnya
Merujuk definisi yang dipaparkan di atas, Imam al Ghazali membagi akhlak menjadi dua :
- Akhlak yang baik (al khuluq al hasan)
- Akhlak yang buruk (al khuluq as sayyi’)
Untuk lebih memahami masing-masing makna
dari kedua jenis akhlak tersebut, kiranya kita perlu memahami terlebih
dahulu penjelasan al Ghazali tentang empat unsur yang bisa menjadi mi’yar (standarisasi) kebaikan dan keburukan akhlak.
Al Ghazali berkata, “Jadi, al Khuluq adalah sebuah kondisi jiwa dan bentuknya yang batin (tidak tampak) (‘ibâratun ‘an hai’atin nafsi wa shûratihal bâthinah).
Sebagaimana kebagusan bentuk yang dhahir secara mutlak itu tidak
sempurna kecuali dengan bagusnya dua mata, tanpa hidung, mulut dan pipi,
tetapi kebagusan semuanya harus ada agar kebagusan dhahir menjadi
sempurna, maka begitu pula di dalam batin (jiwa) ada empat unsur yang
harus baik semua, sehingga kebagusan akhlak menjadi sempurna. Apabila
empat unsur ini setara, seimbang, dan sesuai maka kebagusan akhlak bisa
didapatkan, yaitu kekuatan ilmu, kekuatan emosi, kekuatan syahwat dan
kekuatan adil di antara tiga kekuatan tersebut.” [17] [18]
Selanjutnya, al Ghazali
menjelaskan kebagusanan-kebaikan dari empat kekuatan tersebut.
Menurutnya, kebagusan dan kebaikan dari kekuatan ilmu adalah bisa mudah
mengenali perbedaan antara benar dan dusta dalam perkataan, antara hak
dan batil dalam keyakinan, dan antara baik dan jelek dalam perbuatan.
Jika kekuatan ilmu ini baik, maka akan membuahkan hikmah, dan hikmah
adalah puncak akhlak yang baik, dimana Allah berfirman, “Barangsiapa dikaruniai hikmah, maka sungguh dia telah dikarunia kebaikan yang banyak.” [19]
Kebagusan dan kebaikan dari
kekuatan emosi adalah bisa mencegah dan mengendalikan emosi di atas
batasan yang dituntut oleh al hikmah (kebijaksanaan).
Sedangkan kekuatan syahwat
bisa bagus dan baik bila tunduk dibawah kendali akal dan syariat, begitu
pula dengan kekuatan adil bisa bagus dan baik dengan menekan syahwat
dan emosi dibawah kendali akal dan syariat.
Kemudian al Ghazali
mempermisalkan 4 kekuatan tersebut. Menurutnya, permisalan akal seperti
penasehat yang memberikan arahan, sedangkan kekuatan adil adalah
kemampuan. Permisalannya ibarat orang yang melaksanakan isyarat akal.
Marah adalah bentuk isyarat yang dilaksanakan. Permisalannya seperti
anjing buruan yang harus dilatih sehingga ia dilepas dan berhenti
berdasarkan isyarat, tidak berdasarkan gejolak syahwat dirinya.
Sedangkan permisalan syahwat seperti kuda yang ditunggangi untuk mencari
buruan; terkadang terarah dan terlatih, dan terkadang tidak. [20]
Selanjutnya, al Ghazali menyimpulkan tentang makna akhlak yang baik dengan, “fa man-istawat fîhi hâdzihil khishâl wa-‘tadalat fa huwa husnul khuluqi muthlaqan,[21] wa man-I’tadala fîhi ba’dhuha dûnal ba’dhi fa huwa husnul khuluqi bil idhâfah ila dzâlikal ma’nâ khâshshatan.”
Sebaliknya, bila
kekuatan-kekuatan itu tidak seimbang maka itulah makna akhlak yang
buruk. “Maka” kata al Ghazali “jika kekuatan emosi terlalu berlebihan
maka itu disebut sembrono (tahawwur), jika terlalu lemah dan kurang maka itu disebut pengecut. Bila kekuatan syahwat terlalu berlebihan maka itu disebut rakus (syarah), dan bila cenderung kurang maka itu disebut impoten (jumûd).
Jadi, standarisasi yang merupakan
karakteristik akhlak yang baik adalah titik tengah antara sesuatu yang
terlalu berlebihan (radikal kanan) dan sesuatu yang terlalu kurang
(radikal kiri). Misalnya, kedermawanan merupakan akhlak yang terpuji,
dan akhlak ini berada di tengah-tengah antara sifat kikir dan mubadzir.
Allah Ta’ala telah memberikan pujian dengan berfirman, “Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak
berlebih-lebihan dana tidak pula kikir dan adalah (pembelanjaaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian” (al Furqan : 67). Demikian
juga, yang dituntut berkaitan dengan syahwat atau nafsu makan adalah
yang normal, tidak rakus dan tidak pula kehilangan selera makan. Allah
Ta’ala berfirman, “….maka dan minumlah, dan jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.”[22] (al A’raf : 31) dan Rasulullah juga bersabda, “Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.” [23] dan standarisasi keseimbangan (mi’yârul I’tidâl) adalah akal akal dan syariat (wa mi’yârul I’tidâl huwal ‘aqlu wasy syar’u). [24]
Dari sinilah, al Ghazali mengambil kesimpulan bahwa induk dan prinsip akhlak sesuai dengan 4 kekuatan di atas ada 4, yaitu al hikmah (kebijaksanaan), asy syaja’ah (keberanian), al iffah (penjagaan diri) dan al ‘adl (keadilan). [25]
Al Ghazali mengatakan, “Sesungguhnya induk dan prinsip akhlak ada empat, yaitu al hikmah (kebijaksanaan), asy syaja’ah (keberanian), al iffah (penjagaan diri) dan al ‘adl
(keadilan). Kebijaksanaan adalah kondisi jiwa untuk memahami yang benar
dari yang salah pada semua perilaku yang bersifat ikhtiar (pilihan);
keadilan adalah kondisi dan kekuatan jiwa untuk menghadapi emosi dan
syahwat serta menguasainya atas dasar kebijaksanaan. Juga
mengendalikannya melalui proses penyaluran dan penahanan sesuai dengan
kebutuhan; keberanian adalah ketaatan kekuatan emosi terhadap akal pada
saat nekad atau menahan diri; dan penjagaan diri (‘iffah)
adalah terdidiknya daya syahwat dengan pendidikan akal dan syariat.
Maka, dari normalitas keempat prinsip ini muncul semua akhlak yang
terpuji.” [26]
Perubahan Akhlak[27]
Al Ghazali menolak pendapat orang yang
mengatakan bahwa akhlak tidak dapat berubah karena tabiat itu tidak bisa
berubah dengan mengemukakan dua argumen :
- Al khuluq adalah bentuk batin sebagaimana al khalqu adalah bentuk dhahir. Fisik yang dhahih itu tidak mampu dirubah; yang pendek tidak mampu menjadikan dirinya panjang, yang panjang tidak bisa menjadikan dirinya pendek, dan yang jelek pun tidak mampu memperbagus rupanya, begitu pula dengan batin yang jelek, ia berjalan sebagaimana yang dhahir; tidak bisa dirubah dan berubah.
- Mereka mengatakan, kebaikan akhlak itu hanya melenyapkan syahwat dan emosi. Kami sudah mencoba berulangkali dengan perjuangan yang panjang, dan kami tahu bahwa itu termasuk tuntutan dari tabiat, maka ia tidak akan terputus dari anak Adam. Menyibukkan diri dengan hal ini hanya membuang-buang waktu tanpa manfaat. Yang dituntut adalah memutus perhatian hati kepada bagian-bagian yang disegerakan (dunia), tetapi wujudnya tidak mungkin ada (mustahil).
Kemudian al Ghazali membantah pendapat
mereka dengan mengatakan, “Seandainya akhlak tidak mengalami perubahan,
maka wasiat, nasehat, dan pendidikan tidak berarti apa-apa. Dan
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak akan pernah bersabda, “Hassinû akhlâqakum, perbaikilah akhlak-akhlak kalian.”
Al Ghazali melanjutkan, “Bagaimana hal
itu dipungkiri pada akhlak manusia, padahal perbaikan akhlak pada hewan
saja dapat terjadi. Sebab, al bazi (sejenis burung predator)
dapat diubah dari hewan yang liar menjadi hewan yang jinak. Anjing yang
rakus juga bisa dididik, menahan diri dan beretika. Begitu pula dengan
kuda dari hewan liar menjadi hewan yang jinak dan patuh. Semua ini
merupakan contoh perubahan akhlak.” [28]
“maka” kata al Ghazali “memang kita tidak bisa melenyapkan dan
memaksakan hilangnya emosi dan syahwat secara total hingga tidak
membekas sama sekali; kita tidak akan mampu. Tetapi kalau kita mengekang
dan mengendalikan keduanya dengan riyadhah dan mujahadah, kita mampu melakukannya.” [29]
Al Ghazali berpendapat bahwa tujuan mujahadah dan riyadhatun nafs
di dalam mendidik akhlak bukan mengekang instink yang ada pada dasar
biologis manusia, semisal syahwat dan emosi, serta melenyapkan dan
menghapus keduanya secara total. Tetapi tujuan mujahadah dan pendidikan
akhlak adalah mengendalikan dan mendorongnya ke arah yang normal.
Syahwat dan emosi merupakan kebutuhan yang penting dan bermanfaat bagi
manusia. Al Ghazali mengungkapkan, “Jika syahwat makanan terputus, maka
manusia akan mati; jika syahwat seksual mati, maka proses berketurunan
akan terputus; dan jika emosi tidak ada secara total, maka manusia tidak
dapat membela dirinya dari sesuatu yang menghancurkan, hingga akibatnya
ia akan hancur.” [30]
Jadi,
menurut al Ghazali, akhlak mengalami perubahan; atau dengan kata lain,
akhlak dapat diperoleh melalui proses belajar dan dapat pula diubah
melalui proses belajar.[31]
Yaitu, dengan mendorong jiwa untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
dituntut oleh akhlak yang dimaksud. Maka barangsiapa –misalnya- yang
ingin mendapatkan akhlak dermawan, maka ia harus berusaha untuk berlaku
derma dengan mengeluarkan hartanya sehingga itu menjadi karakternya.[32]
Metode untuk Merubah Akhlak yang Buruk
Sekalipun manusia dikaruniai
akal yang menjadi sarana untuk berpikir dan merenung tentang tujuan
hidup di dunia, tetapi tetap saja ada di antara mereka yang lebih
memperturutkan hawa nafsunya sehingga lambat dalam menerima kebenaran
dan nasehat. Perilakunya pun terkadang jauh lebih hina daripada binatang
ternak. Ini adalah fakta dan diakui oleh sesiapa saja. Tak terkecuali,
al Ghazali. Oleh karenanya, beliau membagi manusia dalam hal merubah
akhlak menjadi empat tingkatan :
Pertama, orang lalai yang
tidak bisa membedakan antara hak dan batil, dan yang bagus dari yang
jelek, bahkan dia tetap berada dalam fitrahnya yang terbebas dari semua
keyakinan, dan syahwatnya juga tidak sepenuhnya mengikuti
kesenangan-kesenangan. Ini adalah yang paling mudah diobati. Ia hanya
butuh pembimbing dan motifasi yang mendorongnya untuk mengikuti
–nasehat.
Kedua, orang yang mengetahui
keburukan dari sesuatu yang buruk, tetapi dia belum membiasakan amal
shalih, bahkan amalannya yang buruk diperhias seolah-olah baik; dia
tunduk kepada syahwatnya dan berpaling dari kebenaran rasionya karena
dikuasai oleh syahwatnya, padahal dia tahu keteledorannya, maka
urusannya lebih sulit dari yang pertama karena penyakitnya
berlipat-lipat. Karena dia wajib melepaskan kebiasaan buruk yang
mengakar kuat dalam dirinya, dan mengarahkan jiwanya kepada hal-hal yang
berlawanan –dengan kebiasaan buruknya.
Ketiga, orang yang meyakini
bahwa yang buruk itu adalah benar dan bagus. Orang seperti ini, kata al
Ghazali, tidak bisa diharapkan penyembuhannya kecuali hanya segelintir
saja yang bisa disembuhkan, karena sebab-sebab kesesatannya
berlipat-lipat.
Keempat, orang yang tumbuh
di atas keyakinan yang rusak, dan terdidik dalam mengamalkan
keyakinannya tersebut; dia melihat keutamaannya dalam banyaknya
kejahatan, pembantaian nyawa manusia, dan berbangga-bangga dengan
kerusakannya, dan dia menganggap itulah yang bisa mengangkat
kedudukannya. Maka, orang ini, kata al Ghazali, tingkatan yang paling
sulit diobati. Permisalannya seperti, “termasuk penyiksaan adalah
melatih serigala agar beretika, dan mencuci yang hitam agar bisa menjadi
putih.”
Selanjutnya, al Ghazali
menyimpulkan bahwa yang pertama adalah orang bodoh, yang kedua adalah
orang bodoh dan sesat, yang ketiga adalah orang bodoh, sesat dan fasik,
dan yang keempat adalah orang bodoh, sesat, fasik dan jahat (jâhilun wa dhâllun wa fâsiqun wa syirrîrun). [33]
Sedangkan teori tentang
metode untuk mendidik akhlak, al Ghazali mempermisalkan kasus sehat dan
sakitnya badan sebagai contoh untuk menjelaskan sehat dan sakitnya jiwa.
Beliau mengatakan, “Sesungguhnya kesehatan badan ada pada normalitas
kondisinya, dan sakit badan bersumber dari kecenderungan kondisi badan
untuk menjauhi normalitas. Demikian pula, normalitas pada akhlak
merupakan kesehatan jiwa, dan kecenderungan untuk menjauhi normalitas
adalah penyakit atau gangguan.” [34]
Maka, al Ghazali menawarkan Mujâhadah dan Riyâdhatun Nafs[35] sebagai cara untuk mengobatinya :
Maksud dari mujâhadah dan riyâdhatun nafs dalam
mendidik akhlak, menurut al Ghazali adalah mendorong jiwa untuk
melakukan amalan-amalan yang dituntut oleh akhlak yang dituntut. [36]
maknanya, cara untuk memperbaiki jiwa adalah dengan menghilangkan
berbagai kenistaan dan akhlak buruknya, serta meraih keutamaan dan
akhlak-akhlak yang baik, sebagaimana cara untuk mengobati anggota badan
yang sakit adalah dengan menghilangkan penyakit dan mengusahakan
kesembuhannya.
Al Ghazali mengemukakan, “Kondisi badan
yang umum adalah yang normal. Perut terancam bahaya karena
makanan-makanan, keinginan-keinginan dan berbagai kondisi. Demikian
pula, semua anak kecil dilahirkan dalam keadaan fitri, tetapi kedua
orang tuanya yang menjadikannya Nashrani, Yahudi atau Majusi. –Atau
dengan kata lain, melalui proses pembiasaan dan pendidikan, maka
kenistaan-kenistaan diperoleh. Badan pada mulanya tidak diciptakan dalam
keadaan kurang sempurna, tetapi ia menjadi sempurna dan kuat melalui
proses pertumbuhan dan pemeliharaan dengan makanan. Demikia pula jiwa,
ia diciptakan dalam keadaan kurang, yang bisa mengalami kesempurnaan.
Jiwa mengalami kesempurnaan melalui proses pendidikan dan pengajaran
akhlak serta santapan ilmu. Jika mengubah kenormalan badan yang sakit
hanya dapat diatasi dengan lawannya –misalnya, panas dengan dingin atau
sebaliknya, dingin dengan panas—begitu pula akhlak buruk yang merupakan
penyakit hati juga dapat diobati dengan lawannya. Oleh karena itu,
penyakit kebodohan diobati dengan belajar, penyakit bakhil diobati
dengan berusaha dermawan, penyakit sombong diobati dengan sikap rendah
hati, dan penyakit rakus diobati dengan mengurangi selera makan.”[37]
Setelah itu, al Ghazali memperingatkan
bahwa mengobati hati atau jiwa itu lebih utama daripada mengobati badan
yang sakit. Karenanya sakitnya badan hanya akan berujung kepada kematian
sementara sakitnya hati –wal ‘iyadhu billah- akan mengekal setelah mati selama-lamanya.
Tetapi, bila perilaku sudah menjadi karakter dan mengakar kuat di dalam jiwa, maka harus digunakan metode tadrij
(bertahap) yaitu dengan memindahkan si individu dari akhlak yang buruk
menuju akhlak lain yang lebih ringan, dan terus seperti itu hingga
akhirnya ia terbebas dari akhlak buruk yang harus dihilangkan. Cara
seperti ini, menurut al Ghazali, dapat diterapkan pada semua akhlak
buruk. Misalnya, jika seseorang melihat kerakusan menguasai dirinya,
maka ia harus berpuasa dan mengurangi makan. Setelah itu, ia harus
memaksakan diri menyediakan makanan yang enak dan memberikannya kepada
orang lain dan ia sendiri tidak boleh memakannya, sehingga jiwanya kuat
menghadapi hal itu. Alhasil, kesabaran menjadi kebiasaan dan kerakusan
akan menghilang. [38]
Agaknya, ada kesamaan antara metode al
Ghazali dalam menggunakan pendekatan penahapan ketika mengobati akhlak
yang buruk dengan metode al Kindi dan Abu Bakar ar Razi dalam
menggunakan pendekatan yang sama ketika melakukan terapi yang pertama
terhadap kesedihan[39], dan membebaskan yang kedua dari hawa nafsu dan syahwat[40].
Terlihat bahwa al Qur’an telah
mendahului al Kindi, ar Razi dan al Ghazali dalam menggunakan pendekatan
penahapan dalam memperbaiki perilaku. Al Qur’an telah menggunakannya
dalam mengatasi pengaruh khamer dan riba’. Sebab al Qur’an tidak
mengharamkan keduanya secara langsung, tetapi mengharamkan keduanya
secara bertahap. Al Qur’an menjauhkan manusia dari khamer dan riba
secara bertahap sampai diharamkan secara total.
Para terapis behavioral mulai menggunakan metode ini pada abad XX dengan mengikuti metode shaping yang digunakan Skinner dalam penelitian-penelitiannya tentan respon bersyarat (conditioning response). Joseph Wolpe menggunakan metode ini dalam melakukan terapi phobia (rasa takut) yang berkaitan dengan hal-hal tertentu, yaitu dengan melakukan respon yang bertentangan dengan phobia. Misalnya,
bersikap rileks terhadap rangkaian benda-benda yang mirip dengan
sesuatu yang mirip dengan sesuatu yang menimbulkan ketakutan secara
bertahap. Tetapi cara itu disusun dalam sebuah sistematika yang
bertahap, mulai dari sesuatu yang paling sedikit menimbulkan ketakutan
hingga yang paling banyak.
Dalam hal ini, sesuatu yang memang
ditakuti sesorang dan menjadi tujuan terapi diletakkan pada tingkat yang
tertinggi. Kemudian terapi dimulai dengan mengajarkan kepada si klien
untuk bersikap rileks ketika membayangkan sesuatu yang dapat menimbulkan
tingkat ketakutan yang lebih besar. Terapi harus terus dilakukan sampai
rasa takut tersebut hilang. Demikianlah, terapi berlanjut dengan
membebaskan diri secara bertahap dari ketakutan yang berkaitan dengan
rangkaian benda-benda yang menimbulkan ketakutan hingga terapi berakhir
jika si klien merasa terbebas dari ketakutan terhadap benda yang berada
di puncak rangkaian tersebut. Pada dasarnya, itulah awal mula terapi
pembebasan diri dari rasa ketakutan terhadapnya.” [41]
Tetapi perlu dicatat bahwa terapi akhlak
yang buruk, dalam pandangan al Ghazali, meniscayakan aspek teoritis dan
praktis, dan penyembuhan hanya terjadi melalui proses yang bersifat
teoritis dan praktis secara bersamaan. Teoritis berarti mempelajari dan
menganalisa akhlak yang buruk, dan praktis bermakna merubah akhlak buruk
tersebut dengan akhlak yang berlawanan. [42]
Jadi, metode al Ghazali
dalam merubah akhlak yang buruk adalah dengan mempelajari akhlak
tersebut, dan memaksakan diri melakukan akhlak yang berkebalikan dengan
akhak tersebut. Kesimpulan ini terkandung dalam firman Allah dalam satu
kalimat yang berbunyi, “wa amma man khâfa maqâma rabbihi wa nahan nafsa ‘anil hawâ fa innal jannata hiyal ma’wâ, dan
adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya, dan menahan
diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggalnya.” (an Nâzi’ât : 40-41).
Penutup
Dari pemaparan tentang konsep akhlak perspektif Imam al Ghazali di atas, ada beberapa kesimpulan : pertama,
definisi akhlak yang disebutkan oleh al Ghazali sama dengan definisi
para ulama’ –seperti Ibnu Miskawaih, al Jurjani, al Jâhizh, dan
Abdurrahman al Maidani-, sekalipun dengan bahasa yang berbeda, yaitu, ’Ibâratun
‘an haiatin fin nafsi râsikhatin, ‘anha tashdurul af’âl bi suhûlatin wa
yusrin min ghairi hâjatin ila fikrin wa rawiyyatin; kedua, akhlak
terbagi menjadi dua, yaitu akhlak baik dan akhlak buruk. Standarisasi
dari keduanya adalah kenormalitasan-ketidaknormalitasan dalam kekuatan
dan kesempurnaan hikmah, kekutan emosi dan syahwat serta ketaatannya
terhadap akal dan syariat sekaligus; ketiga, akhlak bisa dirubah dengan mujahadah dan riyâdhatun nafs, yaitu dengan mendorong jiwa untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dituntut oleh akhlak yang dimaksud; keempat, metode
untuk merubah akhlak yang buruk adalah dengan mengenalinya, dan melatih
diri dengan melakukan akhlak yang berkebalikan dengan akhlak tersebut.
Bila akhlak tersebut sudah mengakar kuat dalam diri yang bersangkutan
maka harus diobati dengan cara tadrij (bertahap). Wallâhu a’lam bish shawâb.
[1]
. Al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali di lahirkan di Tusia di daerah Khurasan (Persia), pada
pertengahan abad ke-5 Hijriyah tepatnya pada tahun 450 Hijriyah
bertepatan dengan 1059 M. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa ia
dilahirkan di Ghazalah, yang terletak di ujung Thus, sehingga dapat
dikatakan ia memiliki darah Persia. Al-Ghazali memulai pendidikannya di
wilayah kelahirannya Tus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan.
Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua
kota tersebut terkenal dengan pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia
Islam. Di kota Nisyafur inilah Al-Ghazali berguru kepada Imam
al-Haramain Abi al-Ma’ali al-Juwainy, seorang ulama yang bermazhab
Syafi’i yang pada saat itu menjadi guru besar di Nisyafur. Setelah itu
Al-Ghazali berkunjung kepada Nidzam al-Mulk di kota Mu’askar, dan
darinya ia mendapat kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia
tinggal di kota itu enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/1090 M, ia
diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan pekerjaannya itu
dilaksanakan dengan sangat berhasil sehingga banyak para penuntut ilmu
dan pengagumnya berguru kepadanya. Pada tahun 487 Hijriyah, khalifah
al-Mustadhir meminta Ghazali untuk menanggapi pemikiran kaum Islamiyah,
yang terkenal dengan al-Bathiniyah atau al-Ta’limiyah. Pada saat itu
mereka merupakan kekuatan yang luar bisaa. Dan Al-Ghazali sampai menulis
tiga buku untuk menanggapi pemikiran mereka.
Setelah itu, Al-Ghazali mengalami krisis
psikologi yang serius dan mematikan seluruh kegiatannya serta
membuatnya meninggalkan kegiatan mengajarnya. Dalam bukunya al-Munqidz
Min ad-Dhalal, Al-Ghazali menyatakan bahwa krisis psikologilah yang
membuatnya meninggalkan kedudukannya di madrasah Nizhamiyah. Pekerjaan
itu ditinggalkannya sekitar tahun 484 H, Untuk menuju Damsyik dan dikota
ini ia merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih 2 tahun,
dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya. Kemudian ia pindah ke Palestina
dan disinipun ia tetap merenung, membaca dan menulis dengan mengambil
tempat di masjid Baitul Maqdis. Sesudah itu bergeraklah hatinya untuk
menjalankan ibadah haji, dan setelah selesai pulang ke negeri
kelahirannya sendiri yaitu kota Tus dan disana ia tetap seperti
bisaanya, berkhalwat dan beribadah.
Karena desakan penguasa pada masanya,
yaitu Muhammad, Al-Ghazali mau kembali mengajar di sekolah Nazamiyyah di
Naisabur tahun 499 H. akan tetapi pekerjaan ini berlangsung 2 tahun,
untuk akhirnya kembali ke kota Tus lagi, dimana ia kemudian mendirikan
sebuah sekolah untuk para fuqaha dan sebuah biara (Khangak) untuk para
mutasawwifin. Di kota itu pula ia meninggal dunia pada tahun 505
H/1111M, dalam usia 54 tahun.
[2] . lih. Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam, Cet. II, Meri 2005, Mizan Media Utama, Bandung, Hlm. 67.
[3] . Saintlânâ, Târîkhul Madzâhib al Falsafiyyah, Juz I, hlm. 174 dalam al Falsafah al Akhlâqiyyah al Aflâthûniyyah ‘inda Mufakkiril Islâmî, Dr. Nâjî at Takrîtî, 2007, Darul Andalus, Beirut, hlm.17.
[4] . Imam Syamsuddin Abu Abdillah Ibnu Qayyim al Jauziyyah, al Fawâ’id,
1414/1993, Dar al Fikr-Beirut, hlm. 93. Terkait dengan keterkaitan
antara kualitas iman dan akhlak seseorang, silahkan baca artikel di : http://www.oaseimani.com/akhlak-mulia-wujud-nyata-kualitas-iman-seorang-hamba.html diambil pada hari Kamis, 19 Januari 2012 pukul 22:59 WIB.
[5] . Abu Abdirrahman al Khalil bin Ahmad al Farahidi, Kitâbul ‘Ain, Tahqiq : Dr. Mahdî al Makhzûmî dan Dr. Ibrâhîm as Sâmirâ’î, Dar dan Maktabah al Hilâl, Juz IV, hlm. 151.
[6] . Terkait bahwa makna al khulqu adalah ad dîn,
selain disebutkan oleh Ibnu Manzhur dalam Lisânul ‘Arab, Fairuz Abadi
juga menyebutkan makna ini. Fairuz Abadi mengatakan, “Ketahuilah bahwa
semua (syariat) agama adalah akhlak, maka sesiapa yang menambah akhlakmu
berarti dia menambah agamamu.” (I’lam annad dîna kullahu khuluqun fa man zâda ‘alaika fil khuluqi zâda ‘alaika fid dîn). (Bashâir dzawit tamyîz, juz II, hlm. 568).
[7] . Muhammad bin Mukarram bin Manzhûr al Afriqi al Mishri, Lisânul ‘Arab, Daru Shâdir, Beirut, Cet. I, Juz X, hlm. 85.
[8] . Ibid. lihat juga : Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali (w. 505 H), Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, Murâja’ah : Shidqi Muhammad Jamil al ‘Aththar, 1428-1429 H/2008, Darul Fikr, Beirut, Juz III, hlm.57.
[9]
. Inilah point terpenting yang ditekankan oleh al Ghazali dalam
mendefinisikan akhlak di atas, yaitu bahwa kondisi di dalam jiwa yang
merupakan sumber perilaku harus bersifat tetap (konstan atau istiqamah)
“Pasalnya,” kata al Ghazali “orang yang mengeluarkan kekayaannya
jarang-jarang karena ada kebutuhan yang mendesak, tidak bisa dianggap
orang yang dermawan selama sifat tersebut belum mengakar kuat dalam
jiwanya. Kami mensyaratkan agar perilaku-perilaku tersebut berjalan
secara spontan tanpa melalui proses berpikir dan merenung karena orang
yang terbebani ketika mengeluarkan harta atau diam ketika marah dengan
susah payah dan merenung terlebih dahulu, maka tidak dapat disebut
sebagai orang yang dermawan dan santun –as sakha’ wal hilm.” (Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, ibid, hlm. 57).
[10] . Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, ibid.
[11] . Agaknya definisi akhlak menurut al Ghazali hampir sama dengan pemahaman trait (sifat) yang digunakan Gordon W. Allport pada masa modern ini. Menurut Allport, trait (sifat) adalah model perilaku yang bersifat umum dan relatif menetap yang bersumber dari individu dalam berbagai situasi. Trait berupa
kesiapan atau kekuatan atau dorongan di dalam diri individu yang
mendorong dan mengarahkan perilakunya dengan cara tertentu. Orang yang
memiliki sifat dermawan misalnya, dalam pandangan Allport selalu dalam
keadaan siap untuk bersikap dermawan dalam semua situasi dan kondisi.
Lihat : Muhammad Utsman Najati, ‘Ilmun Nafs wal Hayât : Madkhal ilâ ‘Ilmin Nafsi wa Tathbîqâtihi fil Hayât, cet. XIII, Kuwait, Darul Qalam, 1991, hlm. 367-368.
[12] . Ali bin Muhammad bin Ali al Jurjani, at Ta’rîfât, Tahqiq : Ibrahim al Abyârî, Cet. I, 1405 H, Dârul Kitâb al ‘Arabî, Beirut, Juz I, hlm. 136.
[13] . Thâha Abdussalam Khudhair, Falsafatul Akhlâq ‘inda Ibni Miskawaih, 1417 H/ 1997 M, hlm. 26
[14] . al Jahizh, Tahdzîbul Akhlâq, Darush Shahâbah lit Turâts, Cet. I, 1410 H/ 1989 M, hlm. 12.
[15] . Abdurrahman Hasan Habnakah al Maidani, al Akhlâq al Islâmiyyah wa Ususuhâ, Cet. I, 1399 H/ 1979 M, Darul Qalam, Damaskus, Juz I, hlm. 7.
[16]
. Disamping akhlak, ada kata padanan yang hampir sama, yaitu moral dan
etika. Ketiganya memiliki pengertian yang berbeda. Moral berasal dari
bahasa latin yaitu mos, yang berarti adat istiadat yang menjadi dasar
untuk mengukur apakah perbuatan seseorang baik atau buruk. Jadi, sebuah
perbuatan dianggap baik atau buruk secara moral hanya bersifat lokal.
Sedangkan akhlak adalah tingkah laku baik, buruk, salah benar, dimana
penilaiannya dipandang dari sudut hukum yang ada di dalam ajaran agama.
Perbedaan dengan etika, yakni etika adalah ilmu yang membahas tentang
moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Dari
penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa etika adalah ilmu,
moral adalah ajaran, dan akhlak adalah tingkah laku manusia. Lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Akhlak pada hari Ahad, 8 Januari 2012 pukul 13:28 WIB.
[17] . Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, ibid, hlm. 58.
[17] . Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, ibid, hlm. 58.
[18]
. Menurut al Ghazali, tidak ada yang memiliki akhlak yang sempurna,
dimana semua kekuatan ilmu, kekuatan emosi, kekuatan syahwat dan
kekuatan adil di antara tiga kekuatan tersebut seimbang kecuali
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, berbeda dengan Abu Bakar ar Razi. Menurutnya, al fadhîlah –yang dimaksud al fadhîlah di sini adalah ishlâhu akhlâqin nafs ‘an tharîqi ittibâ’il ‘aqli wa qam’il hawâ wa tarkisy syahawât–
tidak bisa diraih dengan sempurna kecuali oleh lelaki filosof yang
utama, lelaki filosof yang sempurna itu adalah Plato. (lih. Imam Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, ibid, hlm. 59 dan Dr. Nâjî at
Takrîtî, ibid, hlm. 158).
[19] . al Baqarah : 269.
[20]
. Sepertinya Imam al Ghazali tidak bisa terlepas dari Ibnu Miskawaih
karena permisalan yang dikemukakan oleh keduanya hampir sama. Ibnu
Miskawaih mempermisalkan daya syahwat, daya emosi dan daya rasional
dengan seorang pemburu yang menunggang kuda dengan mengendalikan anjing
untuk berburu. Jika orang itu mampu mengendalikan, mengarahkan dan
menguasai kuda sekaligus anjingnya, lalu keduanya patuh untuk berjalan,
berburu, dan mengikuti seluruh perintah tuannya, maka tidak diragukan
bahwa ketiganya akan hidup harmonis, dan sama-sama sejahtera. Tetapi,
misalnya, jika kuda tidak patuh, maka ia akan berlari kea rah yang
berbahaya sehingga pemburu dan anjingnya akan mengalami kehancuran.
Demikian pula jika anjing tidak patuh pada pemburu, maka manakala
melihat sesuatu dari kejauhan yang ia sangka buruan, ia akan berlari
mengejarnya dan menarik pemburu dan kudanya, sehingga mereka semua
mengalami bahaya. Dalam contoh ini terkandung peringatan terhadap
berbagai bahaya yang menimpa manusia jika daya rasional tidak menguasai
dua daya lainnya, yaitu daya emosi dan daya syahwat. Ibnu Miskawaih, Tahdzîbul Akhlak, hlm. 44-45 dalam Dr. Muhammad ‘Utsmân Najâtî, ibid, hlm. 76.
[21] . Istilah al khuluqul hasan menurut al Ghazali sama dengan al fadhîlah
menurut Ibnu Miskawaih. Standarisasi kebaikan akhlak atau keutamaan ini
pun sama, yaitu keseimbangan dalam kekuatan emosi, rasional dan
syahwat. Ibnu Miskawaih menegaskan, “Kullu fadhîlatin fa hiya wasathun bainar radzâ’il, keutamaan adalah pertengahan diantara kehinaan.” Dan dalam kesempatan yang lain, Ibnu Miskawaih berkata, “Li
kulli fadhîlatin tharfâni mahdûdâni yumkinul isyârah ilaihimâ wa
ausâthu bainahumâ katsîratun lâ nihâyata lahâ wa lâ yumkinul isyâratu
ilaihâ, illa annal wasatha al haqîqî huwa wâhidun wahuwal ladzî
sammainâhu fadhîlatan.” (lihat. Dr. Abdul Azîz Izzat, Ibnu Miskawaih ; Falsafatuhul Akhlâqiyyah wa Mashâdiruhâ, Syirkatu Maktabah wa Mathba’ah Mushthafâ al Bâbai al Halbî wa Aulâdihi bi Mishra, hlm. 279-280).
[22] . al A’raf : 31
[23] . Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, ibid, hlm. 62.
[24] . Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, Mîzânul ‘Amal, taqdim : Sulaiman Sulaim al Bawwab, 1986 M, Darul Hikmah, Beirut, hlm. 60 dan Dr. Sya’ban Jâbullah Ridhwan dkk, ‘Ilmun Nafsi fit Turâts al Islâmî, Taqdim
: Dr. Muhammad ‘Utsman Najati dan Dr. Abdul Halim Mahmud as Sayyid,
Cet. I, 1429 H/ 2008 M, Darus Salam, Kairo, Juz II, hlm. 744.
[25] . 4 Induk akhlak inipun sama dengan apa yang dipaparkan oleh Ibnu Miskawaih dalam bukunya Tahdzîbul Akhlâq wa Tathhîrul A’râq. Menurutnya, keutamaan itu ada empat macam, yaitu al hikmah, al iffah, asy syaja’ah dan al ‘adalah. Al hikmah adalah keutamaan jiwa rasional, yaitu mengenal seluruh maujudat (makrokosmos), isu-isu kemanusiaan, dan isu-isu ketuhanan; al iffah
adalah keutamaan jiwa syahwat, yaitu jika manusia memperlakukan
syahwatnya sesuai dengan arahan jiwa rasional yang memiliki kemampuan
membedakan sehingga tidak tunduk pada syahwat dan menjadi budak nafsu; asy syaja’ah
adalah keutamaan jiwa emosional, yaitu jika jiwa tunduk pada jiwa
rasional. Manusia tidak akan takut pada hal-hal yang mengejutkan jika
perbuatannya baik dan bersabar atas cobaan dengan cara yang terpuji;
sedangkan al ‘adalah adalah keutamaan jiwa yang terjadi karena
terkumpulnya ketiga keutamaan di atas yang kita biasakan. Hal itu
terjadi ketika daya-daya itu saling berdamai satu sama lain, dan tunduk
pada daya rasional yang berkapasitas membedakan, sehingga tidak saling
beradu dan bergerak menuju berbagai keinginannya atas dasar tabiat yang
buruk. (Dr. Muhammad ‘Utsmân Najâtî, ibid, hlm. 85).
[26] . Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, Ihya’ ‘Ulûmiddîn, hlm. 58.
[27]
. Ibnu Miskawaih menyebutkan perbedaan para filosof tentang apakah
akhlak itu bersifat thabi’I (alami, bawaan) ataukah muktasab (diperoleh
melalui usaha). Pendapat pertama, akhlak itu thabi’I yang dipusatkan
dalam jiwa, dan ini mustahil bisa dirubah karena manusia pasti baik atau
buruk sesuai mereka diciptakan; kedua, akhlak itu muktasab, karenanya
akhlak bisa dirubah. Argumentasi yang dikemukakan pendapat kedua ini
adalah bahwa tidak ada akhlak yang menjadi tabiat dalam jiwa, dan tidak
mustahil bila manusia berubah dari satu akhlak ke akhlak yang lain.
Akhlak bisa berpindah –atau berubah- dengan didikan dan nasehat-nasehat,
cepat atau lambat. Pendapat kedua inilah yang dipilih oleh Miskawaih.
(Thâha Abdussalam Khudhair, ibid, hlm. 41-42). Pendapat kedua ini pula
yang dipilih oleh Aristoteles. Dalam bab, “al Kitab ats Tsânî : Nazhariyatul Fadhîlah”, Aristoteles menjelaskan bahwa fadhîlah (keutamaan)
itu ada dua, yaitu keutamaan akal dan akhlak. Yang pertama didapat
dengan belajar dan yang kedua didapat dengan kebiasaan. Kemudian
Aristoteles menyimpulkan, “annahu lâ tûjad wâhidatun minal fadhâ’il
al akhlâqiyyah hâshilatun fînâ bith thab’I, inna asyya’ath thab’I lâ
yumkinu bi fi’lil ‘âdati an tashîra aghyâra mâ hiya kâ’inatun, menurut
kami, tidak ada satu pun dari keutamaan akhlak yang dihasilkan dengan
alami, sesungguhnya sesuatu yang betul-betul alami tidak mungkin berubah
dengan kebiasaan.” (‘Ilmul Akhlaq ilâ Nîqâmâkhus li Aristhathalis,
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ahmad Luthfi as Sayyid, al
Hai’ah al Mishriyyah al ‘Ammâh lil Kitâb, Juz I, hlm. 225-226). Berbeda
dengan pendapat di atas, Socrates, bapak filsafat Yunani klasik,
sebagaimana yang dipromosikan oleh Plato, muridnya, bahwa moralitas
bersifat fitri. Yakni, pengetahuan tentang baik-buruk atau dorongan
untuk berbuat baik sesungguhnya telah ada pada sifat alami pembawaan
manusia (fitrah/innate nature). (M. Amin Abdullah, Antara al
Ghazali dan Kant : Filsafat Etika Islam, Cet. I, Agustus 2002 M/
Jumadats Tsâniyah 1423 H, Penerbit Mizan, Bandung, hlm. 16).
[28] . Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, ibid, hlm. 60.
[29] . Ibid, hlm. 60.
[30] . Ibid, hlm. 61.
[31]
. Sekalipun demikian, al Ghazali tidak memungkiri adanya pengaruh
bawaan. Pasalnya, dia menjelaskan bahwa akhlak yang baik disebabkan oleh
kekuatan akal dan kesempurnaan hikmah yang normal; juga karena kekuatan
emosi dan syahwat yang normal; serta ketaatannya terhadap akal dan
syariat sekaligus. Normalitas ini didapatkan melalui dua jalan, yaitu : Pertama,
kemurahan ilahi dan kesempurnaan fitri, dimana manusia diciptakan dan
diberi kesempurnaan akal dan akhlak yang baik serta cukup untuk
menguasai syahwat dan emosi, bahkan keduanya dicipta dengan seimbang dan
tunduk kepada akal dan syariat sehingga ia menjadi tahu tanpa melalui
proses pengajaran dan terdidik tanpa perlu pendidikan. Kedua, akhlak tersebut diperoleh melalui mujahadah (mendekatkan diri kepada Allah) dan riyâdhatun nafs (olah
batin); maksud saya, membawa jiwa untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang dituntut akhlak yang seharusnya. Misalnya, orang yang ingin
memperoleh akhlak kedermawanan, maka caranya dengan membiasakan diri
melakukan perbuatan derma, yaitu mengeluarkan harta. Ia harus menuntut
diri melakukan hal itu dengan konsisten dan bersungguh-sungguh, sehingga
watak dermawan itu menjadi miliknya dan ia mampu melakukannya dengan
mudah. Ibid, hlm. 62.
[32] . Zaki Mubarak, al Akhlâq ‘indal Ghazâlî, Cet. I, 1408 H/ 1988 M, Darul Jîl, Beirut, hlm. 156.
[33] . lih. Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, ibid, hlm. 61.
[34] . Ibid, hlm. 65.
[35] . Kiranya, kita pun harus ber-mujahadah untuk
memperbaiki akhlak-akhlak kita. Ibnu Mubarak, sebagaimana yang
diabadikan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab monumentalnya, Shifatus
Shafwah, pernah memberikan nasehat yang berbunyi, “Innash shâlihîna
fîmâ madhâ kânat anfusuhum tuwâtîhim ‘alal khairi ‘afwan, wa inna
anfusanâ lâ takâdu tuwâtînâ illâ ‘ala karhin fa yanbaghî lanâ an
nakrahahâ, “Sesungguhnya orang-orang shalih sebelum kita terbiasa
melakukan kebaikan dengan sukarela, sedangkan jiwa-jiwa kita hampir
tidak bisa terbiasa berbuat kebaikan kecuali dengan dipaksa, maka kita
pun harus memaksanya.” (lih. Ibnul Jauzi, Shifatus Shafwah,
ditahqiq dan dita’liq oleh Mahmud Fakhuri dan Dr. Muhammad Rawwas al
Qal’ahji, Darul Ma’rifah, Lebanon-Beirut, Cetakan tanpa tahun, Juz IV,
hlm. 145, dan Ibnul Jauzi, Ensiklopedi Hikmah, Penyusun : Ibnu
Abdil Bari, Cet. I, Agustus 2011, Pustaka Arafah, Solo, hikmah nomor
501, hlm. 296). Bila Ibnu Mubarak berkata demikian, lantas bagaimana
dengan kita??
[36] . Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, Ibid, hlm. 62.
[37] . Ibid, 65.
[38] . lih. Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, ibid, hlm. 66.
[39]
. Diantara cara membebaskan untuk membebaskan diri dari kesedihan yang
disebutkan al Kindi adalah dengan mengingat faktor-faktor penyebab
kesedihan dari diri sendiri, dan dari orang lain di masa lalu serta
faktor penyebab kesenangan, karena hal itu sangat membantu kita untuk
mendapatkan hiburan dari kesedihan di masa sekarang. Lih. Al Kindi, al Hîlah fî Daf’il Ahzân, hlm. 14-15 dalam Dr. Muhammad ‘Utsman Najati, ad Dirâsât an Nafsâniyyah ‘indal ‘Ulamâ’il Muslimîn, Cet. I. 1414 H/ 1993 M, Kairo, Darusy Syurûq, hlm. 34.
[40]
. ar Razi menegaskan bahwa mengekang dan mengendalikan hawa nafsu
merupakan hal wajib menurut pendapat semua orang, setiap orang yang
berakal dan semua agama. Sebab, sebagian besar gejala jiwa yang hina
–atau dengan makna lain, penyakit jiwa –bersumber dari hawa nafsu dan
syahwat. Ar Razi juga menjelaskan bahwa mencegah syahwat merupakan
sesuatu yang sangat sulit bagi banyak orang. Tetapi kesulitan yang
dihadapi orang dalam hal itu, akan terasa ringan melalui pembiasaan,
apalagi jika dilakukan secara bertahap. Pertama-tama, dengan membiasakan
diri mencegah syahwat yang ringan dan meninggalkan keinginan yang tidak
dibenarkan akal dan rasio. Kemudian dilanjutkan ke tahap yang lebih
tinggi sehingga menjadi akhlak dan kebiasaan; nafsu syahwatnya dapat
dikalah serta terbiasa tunduk pada jiwa rasional. Akhirnya, timbul
kebahagiaan akibat dari mengekang hawa nafsu, memanfaatkan rasio dan
akal, serta menyiasati semua urusannya dengan rasio dan akal. Lih. Abû
Bakar ar Razi, Ath Thibbur Rûhânî, hlm. 32-33 dalam Dr. Muhammad ‘Utsman Najati, ibid, hlm. 43.
[41] . Dr. Muhammad ‘Utsman Najati, Ibid, hlm. 194-195.
[42]
. Metode ini juga diikuti oleh Fakhruddin ar Razi dalam merubah akhlak
yang buruk. Dalam terapi sifat bakhil misalnya, ar Razi meniscayakan
pengobatannya dengan metode ilmu dan praktik. Ar Razi juga
menyimpulkan, “Walhasil, ahli terapi akhlak tercela memberdayakan
syahwat atas emosi serta dengan lawannya (reciprocal inhibition). (Fakhruddin ar Razi, an Nafs war Rûh wa Syarh Quwâhumâ, hlm. 123, dalam Dr. Muhammad ‘Utsman Najati, Jiwa dalam pandang Filosof Muslim, Terj. Gazi Saloom, S.Psi, Cet. I, Oktober 2002, Pustaka Hidayah, Bandung, hlm. 334-336).
Semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar