Ayat Muhkam dan Mutasyabih
- A. Pengertian Al-Muhkam wal Mutasyabih
Secara bahasa kata Muhkam berasal dari kata ihkam yang
berarti kekukuhan , kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Namun
secara pengertian ini pada dasarnya kata tersebut kembali kepada makna
pencegahan[1].kata muhkam merupakan pengembangan dari kata “ahkama, yuhkimu, ihkaman” yang secara bahasa adalah atqona wa mana’a yang berarti mengokohkan dan melarang.[2] Sedangakan kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh
yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya
membawa kepada kesamaan antara dua hal. Tasyabaha dan isyabaha berarti
dua hal yang masig-masing menyerupai yang lainnya.[3]
Secara istilah (terminologi) para ulama berbeda pendapat dalam
merumuskan definisi muhkam dan mutasyabih. Di bawah ini ada beberpa
definisi menurut Al-Zarqani :[4]
- Muhkam adalah ayat yang jelas maksudnya. Yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabihat adalah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allohlah yang mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat. Pendapat ini dibangsakan al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin madzhab Hanafi.
- Muhkam adalah ayat yang berdiri sendiri yang tidak memerlukan keterangan. Mutasayabihat adalah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan. Kadang-kadang diterangkan melalui ayat atau keterangan lain pulakarena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad ra.
- Mungkam adalah ayat yang tunjukan maknanya kuat. Mutasyabihat ialah ayat yang menunjukan maknanya tidak kuat, yaitu lafalnya mujmal, musykil dll. Pendapat ini dibangsakan kepada imam al-Razi dan banyak peniliti yang memilihnya.
Dari beberpa pendapat di atas tidak lah terjadi perbedaan pendapat,
tetapi malah diantaranya terdapat persamaan dan kedekatan makna.
Dalam Al-Qur’an, disebutkan kata-kata muhkam dan mutasyabih. Pertama, lafal muhkam , terdapat dalam Q.S. Hud: 1[5]
كِتبٌ اُحْكِمَتْ ايتُـه….
Artinya :”Sebuah Kitab yang disempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya…”.
Kedua, lafal mutasyabih terdapat dalam Q.S. Zumar : 23[6]
…كِتَابًا مُتَشَـابِهًا مَّـثَانِيْ….
Artinya :” …(yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutasyabih) lagi berulang-ulang….”
Ketiga, lafal muhkam dan mutasyabih sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini terdapat pada Q.S. Ali Imran : 7[7]
هُوَ الَّذِيْ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتبَ مِنْهُ ايتٌ مُحْكَمتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتبِ و اُخَرُ مُتَشبِهتٌ فَاَمَّا الَّذِيْنَ
فِى قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشبَهَ مِنْهُ
ابْتِغَاءَ الْفِتْنَـةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِـه وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيْلَه اِلاَّ الله ُ وَالرَّاسِخُوْنَ فىِ الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ
امَنَّا بِه كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَ
Artinya:
“Dialah yang telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu,
diantaranya ada ayat-ayat muhkamat yang merupakan induk dan lainnya
mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk
menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya1
padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang
yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami…”
Berdasarkan tiga ayat tersebut, menceritakan adanya tiga pendapat tentang masalah ini. Pertauma berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya muhkam berdasarkan ayat pertama. Kedua berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya mutasyabih berdasarkan ayat kedua. Ketiga berpendapat bahwa sebagian ayat Al-Qur’an muhkam dan lainnya mutasyabih berdasarkan ayat ketiga. Inilah pendapat yang sahih. Ayat pertama, dimaksudkan dengan muhkam-nya Al-Qur’an adalah kesempurnaan dan tidak adanya pertentangan antara ayat-ayatnya. Maksud mutasyabih dalam ayat kedua adalah menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kebenaran, kebaikan dan kemukjizatannya.
- B. Kriteria Ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Perbedaan pengertian muhkam dan mutasyabih sehingga hal ini terasa menyulitkan untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk muhkam dan mutasyabih. J.M.S Baljon, mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat bahwa termasuk kriteria ayat-ayat muhkamat adalah apabila ayat-ayat tersebut berhubungan dengan hakikat (kenyataan), sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqiqat). Ali Ibnu Abi Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat muhkamat sebagai
berikut. yakni ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat
yang menghalalkan, ayat-ayat yang mengharamkan, ayat-ayat yang
mengandung kewajiban, ayat-ayat yang harus diimani dan diamalkan.
Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat
adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan, ayat-ayat yang dipertukarkan
antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang berisi beberapa
variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang boleh diimani
dan tidak boleh diamalkan.[8]
Ar-Raghib al-Ashfihani memberikan kreteria ayat-ayat mutasyabihat
sebagai ayat atau lafal yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti
tibanya hari kiamat, ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya bisa diketahui
maknanya dengan sarana bantu, baik dengan ayat-ayat muhkamat,
hadis-hadis sahih maupun ilmu penegtahuan, seperti ayat-ayat yang
lafalnya terlihat aneh dan hukum-hukumnya tertutup, ayat-ayat yang
maknanya hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya.
Sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, Ya Allah, karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahankanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya.[9]
- C. Pendapat Para Ulama
Menurut Al-Zarqani, ayat-ayat Mutasyabih dapat dibagi 3 ( tiga ) macam :[10]
- Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat mengetahui maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hari kiamat, hal-hal gaib, hakikat dan sifat-sifat zat Allah. Sebagai mana Firman Alloh dalam QS. Al-An’am :59
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ……
Artinya : “dan pada sisi Allah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang
mengetahui kecuali Dia sendiri…..
mengetahui kecuali Dia sendiri…..
- Ayat-ayat yang setiap orang bias mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat : Mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutannya, dan seumpamanya QS An-Nisa :3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ…
Artinya : “dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (
hak-hak ) perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita…”.
- Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para Ulama tertentu dan bukan semua Ulama. Maksud yang demikian adalah makna-makna yang tinggi yang memenuhi hati seseorang yang jernih jiwanya dan mujahid.
Tentang perbedaan pendapat antara ulama khalaf dan ulama salaf
mengenai ayat-ayat mutasyabihat dimulai dari pengertian, berbagai macam
sebab dan bentuknya. Dalam bagian ini, pembagian khusus tentang
ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sifat-sifat Tuhan, yang dalam
istilah As-Suyuti “ayat al-shifat” dan dalam istilah Shubi al-Shalih “mutasyabih al-shifat” ayat-ayat yang termasuk dalam katagori ini banyak[11]. Diantaranya : Surah ar-Rahman [55]: 27:
وَيَبْقى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَالأِكْرَامِ
Artinya : Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Atau dalam Q.S. Taha [20]: 5 Allah berfirman :
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْـتَوى
Artinya : “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy”.
Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab.:
- a. Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula mazhab Mufawwidah atau Tafwid. Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa`, dia berkata:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْـهُ بِدْعَةٌ وَ اَظُـنُّـكَ رَجُلَ السُّوْءَ اَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ.
Terjemahan: “Istiwa` itu maklum, caranya tidak diketahui
(majhul), mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini
orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya”.
Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh
setiap orang. akan tetapi, pengertian yang demikian secara pasti bukan
dimaksudkan oleh ayat. sebab, pengertian yang demikian membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. karena itu, bagaimana cara istiwa’
di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya, mempertanyakannya untuk
mengetahui maksud yang sebenarnya menurut syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada).
Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas.
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَـهُ اِلاَّ الله ُ وَيُقُوْلُ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ امَـنَّا بِه
Artinya : Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali
Allah dan berkata orang-orang yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”.
(dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam tafsirnya dari al-Hakim dalam
mustadraknya).[12]
b. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menkwilkan lafal yang
makna lahirnya mustahil kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena
itu mereka disebut pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan ketinggian yang abstrak,
berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan.
Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah berada
di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu
tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan zat “mata” dengan
pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan “diri” dengan siksa. Demikian
sistem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf.
Alasan mereka berani menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, menurut
mereka, suatu hal yang harus dilakukan adalah memalngkan lafal dari
keadaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia karena
membiarkan lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam
Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk
melakukannya.
Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka juga mengemukakan dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat Ibnu al-Mundzir yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ :(وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ) قَالَ:
اَنَـامِمَّنْ يَعْلَمُوْنَ تَـأْوِيْـلَهُ.(رواه ابن المنذر)
Terjemahan: “dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: : Dan
tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam
ilmunya”. Berkata Ibnu Abbas:”saya adalah di antara orang yang
mengetahui takwilnya.(H.R. Ibnu al-Mundzir)[13]
Disamping dua mazhab di atas, ternyata menurut as-Suyuti bahwa
Ibnu Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di
atas. Ibnu Daqiqi al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita
tawaqquf (tidak memutuskan). Kita menyakini maknanya menurut
cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua yang tidak laik
bagi-Nya.
- D. Hikmah dan Nilai-nilai Pendidikan dalam ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
Al-Quran adalah rahmat bagi seluruh alam, yang didalamnya terdapat
berbagai mukzijat dan keajaiban serta berbagai misteri yang harus
dipecahkan oleh umat di dunia ini. Alloh tidak akan mungkin memberikan
sesuatu kepada kita tanpa ada sebabnya. Di bawah ini ada beberapa hikmah
tentang adanya ayat-ayat muhkan dan mutasyabih, diantara hikmahnya
adalah :
- Andai kata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka akan sirnalah ujian keimanan dan amal karena pengertian ayat yang jelas.
- Apabila seluruh ayat Al-Qur’an mutasyabihat, niscaya akan padamlah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang benar keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sis Allah, segala yang datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan[14].
لاَ يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ حَكَيْمٍ حَمِيْدٍ
Terjemahan: “Tidak akan datang kepadanya (Al-Qur’an)
kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari
Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”. (Q.S. Fushshilat [41]: 42)
- Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat, menjadi motivasi bagi umat Islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga kita akan terhindar dari taklid, membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir.
- Ayat-ayat Mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkap maksudnya, sehingga menambah pahala bagi orang yang mengkajinya.[15]
- Jika Al-Quran mengandung ayat-ayat mutasyabihat, maka untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan yang lainnya. Hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti ilmu bahasa, gramatika, ma’ani, ilmu bayan, ushul fiqh dan sebagainya. Apabila ayat-ayat mutasyabihat itu tidak ada niscaya tidak akan ada ilmu-ilmu tidak akan muncul.
Menurut Yusuf Qardhawi, adanya muhkam dan mutasyabih sebenarnya
merupakan ke-mahabijaksanaan-Nya Allah, bahwa Al-Qur’an ditujukan
kepada semua kalangan, karena bagi orang yang mengetahui berbagai tabiat
manusia, di antara mereka ada yang senang terhadap bentuk lahiriyah dan telah merasa cukup dengan bentuk literal suatu nash. Ada yang memberikan perhatian kepada spritualitas suatu nash, dan tidak merasa cukup dengan bentuk lahiriyahnya saja, sehingga ada orang yang menyerahkan diri kepada Allah dan ada orang yang melakukan pentakwilan, ada manusia intelek dan manusia spiritual.
mengajarkan ”ajaran” muhkam dan mutasyabih kepada manusia agar
kita mengakui adanya perbedaan karakter pada setiap individu, sehingga
kita harus menghargainya. Kalau kita sebagai guru, sudah sepatutnya
meneladani-Nya untuk kita aplikasikan dalam menyampaikan pelajaran yang
dapat diterima oleh peserta didik yang berbeda-beda dalam kecerdasan dan
karakter.[16]
KESIMPULAN
Dari definisi-definisi tentang muhkam dan mutasyabihat di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa muhkam
adalah suatu lafadz yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat
berdiri sendiri serta mudah dipahami. Juga tercakup di dalamnya tentang
halal, haram, amar, nahi, janji dan ancaman dan semua itu wajib diimani
dan diamalkan. Sedangkan mutasyabihat
adalah suatu lafadz yang artinya samar, maksudnya tidak jelas dan sulit
bisa ditangkap karena mengandung penafsiran yang berbeda-beda dan bisa
jadi mengandung pengertian arti yang bermacam-macam.
Pandangan ulama mengenai ayat-ayat mutasyabihat dan dipahami manusia atau tidak ada dua pendapat. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa arti dan ayat-ayat mutasyabihat dapat diketahui oleh umat manusia, dan ulama yang lain mengatakan bahwa umat manusia tidak dapat mengetahuinya. Ayat-ayat muhkam dan mutasyabih
adalah dua hal yang saling melengkapi dalam Al-Qur’an. Beberapa hikmah
tentang adanya ayat-ayat ini adalah dapat menumbuhkan rasa semangat
untuk terus menggali kandungan al-Quran sebagai petunjuk, dan juga
memicu munculnya ilmu-ilmu yang yang berhubungan dengan al-Quran seperti
ilmu ushul fiqh, ma’ani dll.
REFERENSI
Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Quran.1996. jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Ilmu-Ilmu Al-Quran. 1993. Jakarta : PT. Bulan Bintang.
Zainu, Syeih Muhammad Jamil. Bagaimana Memahami Al-Quran. 1995. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Komentar
Posting Komentar