Syafi'iyyah VS Wahabiyyah

Cuplikan Dialog Asy-Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi Asy-Syafi’i Dengan Nashiruddin Al-Albani As-Salafi



Nashiruddin al-Albani menyampaikan bahwa,
Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taqlid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taqlid dan ijtihad.”
Pernyataan al-Albani itu diucapkan dalam dialog antara dia dengan ulama ahlussunnah asy-Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi asy-Syafi’i. Meskipun dalam tulisannya, Syaikh al-Buthi tidak menuliskan nama tokoh tersebut, akan tetapi pembaca akan mudah menebak tokoh yang dimaksudkan, yakni Nashiruddin al-Albani as-Salafi, ulama Salafi.
Asy-Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi asy-Syafi’i adalah seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah pengikut aqidah ahlussunnah Asy’ariyyah madzhab Syafi’i di Syria, sedangkan Nashiruddin al-Albani as-Salafi adalah seorang tokoh Wahhabi Salafi dari Yordania.
Berikut kutipan dialog diantara keduanya selengkapnya yang didokumentasikan dalam kitab karya mulia Syaikh al-Buthi al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’at al-Islamiyyah:
…..
al-Albani: “Manusia terbagi menjadi tiga orang: muqallid, muttabi’, dan mujtahid. Orang yang bisa membandingkan madzhab-madzhab dan menyeleksi mana yang lebih dekat dengan al-Qur’an adalah muttabi’, yakni level menengah antara taklid dan ijtihad.”
Syaikh al-Buthi: “Lalu apa kewajiban muqallid?
al-Albani: “Bertaklid kepada para mujtahid yang disepakati.”
Syaikh al-Buthi: “Apakah seorang muqallid berdosa jika ia bertaklid pada salah satu mujtahid, konsisten padanya, dan tidak berpindah ke yang lain?
al-Albani: “Ya, hal itu haram baginya.”
Syaikh al-Buthi: “Apa dalil dari keharaman itu?
al-Albani: “Dalilnya, dia telah mengikuti secara konsisten terhadap sesuatu, padahal hal itu tidak diwajibkan Allah ‘azza wa jalla.
Syaikh al-Buthi: “Anda membaca al-Qur’an dengan bacaan apa dari bacaan yang tujuh (al-Qira’at as-Sab’ah)?
al-Albani: “Qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi: “Apakah anda konsisten memakai qira’ah tersebut ataukah anda setiap hari memakai bacaan qira’ah yang berbeda?
al-Albani: “Tidak, saya konsisten memakai Qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi: “Lalu mengapa anda konsisten dengan qira’ah itu, padahal Allah tidak mewajibkan anda untuk membaca al-Qur’an kecuali sebagaimana yang diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam?
al-Albani: “Karena saya belum selesai mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Tidak mudah bagi saya untuk membaca kecuali dengan bacaan ala Hafsh.”
Syaikh al-Buthi: “Ada orang yang mempelajari fiqih madzhab Syafi’i dan belum selesai mempelajari madzhab-madzhab lainnya. Tidak mudah baginya menggunakan fiqih dalam hukum-hukum agama kecuali dengan fiqih Imam Syafi’i. Jika anda wajibkan ia untuk mengetahui ijtihad-ijtihad semua imam hingga ia kuasai semuanya, anda juga wajib mempelajari seluruh qira’ah, sampai semuanya anda gunakan untuk membaca. Jika anda berapologi karena tidak mampu, maka anda harus mentolerir si muqallid itu juga. Pendek kata kami katakan, darimana dalil anda bahwa seorang muqallid harus berganti-ganti madzhab padahal Allah tidak mewajibkan hal itu. Maksudnya, sebagaimana Allah tidak mewajibkan untuk terus menerus mengikuti suatu madzhab, Allah juga tidak mewajibkan muqallid untuk terus menerus berganti-ganti madzhab.”
al-Albani: “Yang haram baginya adalah ia konsisten bermadzhab sementara ia meyakini bahwa Allah tidak memerintahkan hal itu.”
Syaikh al-Buthi: “Itu adalah hal lain (tidak berkaitan dengan bahasan ini -penerj.), itu adalah hal yang sudah benar, tidak diragukan, dan disepakati. Akan tetapi, apakah ia berdosa jika menetapi terus menerus seorang mujtahid padahal ia tahu bahwa Allah tidak mengharuskannya?
Al-Albani: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi: “Tetapi al-Kurras yang anda ajarkan menyebutkan hal yang berbeda dari apa yang anda katakan. Al-Kurras menergaskan keharaman hal itu, bahkan dalam beberapa keterangan, al-Kurras mengkafirkan orang yang konsisten mengikuti seorang imam tertentu dan tidak berpindah ke imam yang lain.”
al-Albani: “Dimana?”
Kemudian al-Bani merujuk ke al-Kurras, menelaah teksnya dan ungkapannya. Ia lalu merenungkan perkataan penulis kurras: “Bahkan, orang yang konsisten mengikuti suatu madzhab tertentu bagi semua permasalahannya adalah orang yang fanatik, salah, dan bertaklid buta. Mereka adalah orang yang memecah belah agamanya sementara mereka tercerai-berai.”
al-Bani kemudian mengatakan: “Maksud penulis kurras dengan ‘konsisten’ adalah ‘bila meyakini bahwa hal itu wajib secara syara’. Ungakapan itu masih kurang!
Syaikh al-Buthi: “Apa buktinya kalau ia bermaksud demikian, mengapa tidak anda katakan bahwa penulisnya telah berbuat salah?
Al-Albani bersikukuh menyatakan bahwa ungkapan al-Kurras benar. Ungkapan tersebut mengandung penakwilan yang dibuang. Penulisnya terjada dari kesalahan!
Syaikh al-Buthi: “Tetapi, kalau ditakwil demikian, ungkapan itu tidak berpengaruh apa-apa dan tidak ada gunanya. Tidak ada seorang pun dari umat Islam kecuali mengetahui bahwa mengikuti salah satu imam madzhab empat bukanlah syari’at yang wajib. Tidak seorang pun muslim yang konsisten terhadap madzhab kecuali ia melakukan hal itu karena keinginan dan pilihannya.”
al-Albani: “Bagaimana? Saya mendengar dari banyak orang dan sebagian ulama bahwa konsisten terhadap madzhab tertentu adalah wajib, sampai-sampai tidak boleh berpindah ke madzhab lainnya.”
Syaikh al-Buthi: “Sebutkan satu nama saja pada saya, siapa orang awam atau ulama yang mengatakan pernyataan itu.”
al-Albani terdiam. Ia tidak mau mengakui bahwa perkataan saya (=Syaikh al-Buthi) benar. Ia terus saja mengulang-ulang: “Yang digambarkan oleh penulis kurras adalah bahwa banyak orang yang mengharamkan berpindah-pindah madzhab.”
Syaikh al-Buthi: “Anda tidak akan menemukan satu orang pun hari ini yang meyakini praduga aneh itu. Ya, ada orang-orang yang meriwayatkan dari sebagian ulama generasi akhir masa Utsmaniyah bahwa mereka menganjurkan berpindahnya seseorang yang bermadzhab Hanafi ke madzhab lainnya. Tentu, hal itu -jika memang riwayatnya benar- adalah bentuk lemahnya akal dan fanatisme buta.”
…..
Jadi bagi al-Albani, kaum muslim dilarang menjadi muqallid (orang yang taqlid) dan bagi yang tidak berkompetensi sebagai mujtahid seharusnyalah menjadi muttabi’ (orang yang mengikuti) yakni membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an dan As Sunnah.
Kalau begitu bagaimana nasib kaum muslim yang tidak mempunyai kemampuan untuk membeli kitab-kitab hadits ataupun tidak mempunyai waktu dan kompetensi untuk membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an dan As Sunnah ? Apakah mereka akan masuk neraka karena mengerjakan perkara terlarang yakni menjadi muqallid (orang yang taqlid)?
Bagaimana dengan seorang muslim yang bodoh yang menggunakan pemahaman subyektifnya dalam memahami telaahnya terhadap al-Qur’an. Ia shalat tidak menghadap kiblat, berbeda dengan semua umat Islam, lalu shalatnya dianggap sah. Seorang lelaki buta menggunakan pemahaman subyektifnya, lalu ia obati seseorang dan orang yang sakit itu meninggal di tangannya. Kepada orang sakit yang meninggal itu ia berkata: “Semoga Allah memberimu kesehatan.”
Jika demikian, kita jadi tidak mengerti, mengapa orang-orang anti-madzhab tidak membiarkan kami untuk menggunakan pemahaman subyektif kami juga, yakni bahwa orang yang tidak tahu hukum-hukum agama dan dalil-dalilnya, harus berpegangan pada salah satu madzhab imam mujtahid. Ia mengikutinya karena memang imam mujtahid adalah orang yang mengerti benar dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul.
KH. Muhammad Nuh Addawami menyampaikan,
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (Lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala Syarh al- Waraqat hal. 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.”
Jadi muttabi‘ bukanlah sebagaimana yang dikatakan oleh al-Albani sebagai “derajat tengah, antara taqlid dan ijtihad” namun muttabi‘ adalah orang yang mengikuti pendapat orang lain karena dia ahli istidlal.
Sedangkan orang yang menerima atau mengikuti pendapat orang lain walaupun mengetahui dalilnya namun bukan ahli istidal adalah sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan menerima atau mengikuti pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian, Macam, dan Tujuan Ulumul Qur’an

MAKALAH TAREKAT (THORIQOH)

Biografi Raden Patah Pendiri Kesultanan Demak