HADITS HASAN

  1. 1.      Hadits Hasan
    1. a.      Pengertian
Hasan menurut bahasa berarti (sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu). Sedangkan menurut istilah, para ulama’ berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadits hasan ini. Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan diantara mereka ada yang menggolongkan hadits hasan sebagai hadits yang menduduki posisi diantara hadits shahih dan hadits dha’if. Tetapi ada juga yang memasukkannya sebagai bagian dari hadits dha’if yang dapat dijadikan hujjah.[1]
Adapun definisi hadits hasan dapat dilihat antara lain sebagai berikut:
Menurut Ibn Hajar,[2] hadits hasan adalah:
وَخَبْرُ الْاَحَادِ بِنَقْلٍ تَامِ الضَّبْطِ مُتَّصِلِ السَّنَدِ غَيْرِ مُعَلَّلٍ وَلَا شَاذٍّ هُوَ الصَّحِيْحُ لِذَاتِهِ…
فَاِنْ قَلَّ الضَّبْطُ فَالْحَسَنُ لِذَاتِهِ.
“Khabar Ahad adalah yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabit-annya, sanadnya bersambung, tidak ada syadz dan illat, itulah yang disebut shahih lidzatihi, bila kedhabitannya kurang, maka itulah yang disebut hasan lidzatihi”.
Dengan kata lain hadits hasan adalah:
هُوَ مَا اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الَّذِيْ قَلَّ ضَبْطُهُ وَخَلاَ مِنَ الشُّذُوْذِ وَالْعِلَّةِ
“Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit kedhabithannya, tidak ada keganjilan (syadz), dan tidak ada ‘illat.”
b.      Contoh hadits hasan
Hadits yang diriwayatkan oleh al-timidzi, ibn majjah, dan ibn hibban dari al-hasan bin urfah al-maharibi dari muhammad bin amr dari abu salamah dari abi hurairah, bahwa nabi SAW bersabda:
اَعْمَارُ اُمَّتِيْ مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ اِلَى السَّبْعِيْنَ وَاَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَالِكَ
“Usia umatku sekitar antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi yang demikian itu”.
Para perawi hadits di atas tsiqqah semua kecuali ,Muhammad bin Amr dia adalah shaduq (sangat benar). Oleh para ulama hadits nilai ta’dil shaduq tidak mencapai dhabith tamm sekalipun telah mencapai keadilan, kedhabithannya kurang sedikit jika dibandingkan dengan kedhabithannya hadits shahih seperti tsiqqatun (terpercaya) dan sesamanya.[3]
c.       Macam-macam hadits hasan
Ada dua jenis hadits hasan, yaitu hasan li dzatihi dan hasan li ghairihi. Dikatakan hasan li dazatihi sebab kualitas hasannya muncul karena memenuhi syarat tertentu, bukan karena faktor lain diluarnya. Adapun hadits hasan li ghairihi adalah hadits yang didalamnya terdapat perawi mastur, yang belum tegas kualitasnya, tetapi bukan perawi pelupa atau sering melakukan kesalahan dalam riwayat-riwayatnya, bukan pula muttaham bi al-kadzib dalam hadits, juga bukan karena sifat lain yang menyebabkan tergolong fasiq, dengan syarat mendapatkan pengukuhan dari perawi lain yang mu’tabar, tidak berstatus muttabi’ maupun syahid.
Dengan demikian hadits hasan lighairihi pada mulanya merupakan hadits dha’if, yang naik menjadi hasan karena adanya penguat. Jadi kemungkinan berkualitas hasan karena adanya penguat itu. Sandainya tidak ada penguat, tentu masih berstatus dha’if.
 d.      Syarat-Syarat Hadits Hasan
Secara rinci syarat-syarat hadits hasan sebagai berikut:
  1. Sanadnya bersambung
  2. Perawinya ‘adil
  3. Perawi dhabit, tetapi kualitas ke-dhabit-annya di bawah ke-dhabit-an perawi hadits shahih
  4. Tidak terdapat syadz atau kejanggalan
  5. Tidak ber’illat
  6. e.       Kehujjahan hadits hasan
Jumhur mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadits shahih, walaupun derajadnya tidak sama, bahkan ada segolongan ulama’ yang memasukkan hadits hasan ini, baik hasan li dzathihi maupun lighairihi ke dalam kelompok shahih, seperti Hakim, Ibn Hibban, Ibn Khuzaimah meskipun tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu. Bahkan para fuqaha’ dan ulama’ banyak yang beramal dengan hadits hasan ini.[4]
Agaknya Al-Khattabi lebih teliti tentang penerimaan mereka terhadap hadits ini. Makanya Al-Khattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan di sini (yang bisa diterima sebagai hujjah) adalah hadits hasan li dzatihi. Sedangkan hadits hasan li ghairihi jika kekurangannya dapat tertutupi oleh banyaknya riwayat, maka sah-lah berhujjah dengannya.

[1] Sulaiman, Noor, 2009,”Antologi Ilmu Hadits”,Gaung Persada Press, Jakarta.
[2] Ibn Hajar Al-Asqalani, Syarh Nukhbah Al-Fikr, op. cit., hlm. 52
[3] Abdul Majid Khon, Haji, 2009,”Ulumul Hadits”, Amzah, Jakarta.
[4] Suparta, Munzier, 2010, ”Ilmu Hadits”, Rajawali Pers, Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian, Macam, dan Tujuan Ulumul Qur’an

MAKALAH TAREKAT (THORIQOH)

Biografi Raden Patah Pendiri Kesultanan Demak