KONSEP AKHLAK; Dalam Pandangan Al-Ghazali

KONSEP AKHLAK;
Dalam Pandangan Al-Ghazali

A.    Pendahuluan

Masalah akhlak terus menjadi topik yang selalu diperbincangkan oleh berbagai kalangan, khususnya kaum agamawan, dan lebih khusus lagi para mubaligh yang selalu memberi taushiyah-taushiyah kepada masyarakat. Mereka tidak jemu-jemu menyoroti masalah akhlak, sebab, menurut mereka, salah satu penyebab krisis multidimensi di negeri ini adalah krisis akhlak. Sayangnya, krisis akhlak dalam istilah agamawan itu terlalu sempit, sebab masih terbatas pada masalah seks pra-nikah, korupsi, pakaian super seksi, atau tontonan yang kerap membuat jantung kita berdetak lebih kencang.
Selain itu, pembicaraan akhlak juga terbatas pada sikap atau perilaku yang kasat mata, sedangkan aspek batiniah kurang mendapat porsi yang berimbang. Padahal, akhlak hakiki, menurut al-Ghazali, tidak terletak pada sikap dan perilaku yang indrawi atau empiris melainkan ada pada lubuk hati yang paling dalam.
Berbicara mengenai akhlak, jelas tidak bisa melupakan nama al-Ghazali atau Imam Ghazali. Ulama yang diberi gelar hujjāt al-Islām ini memang memiliki perhatian yang cukup besar terhadap masalah akhlak. Ini barangkali dikarenakan spirit sufistiknya yang begitu kuat pada diri al-Ghazali, khususnya di masa-masa akhir petualangan intelektualnya.
Karena itu, konsep akhlak al-Ghazali sangat menarik untuk dikaji secara seksama, dengan harapan kita mampu mengetahui hakikat akhlak yang sebenarnya. Makalah yang sangat sederhana ini tentu tidak bisa mengurai seluruh konsep al-Ghazali. Makanya, makalah ini hanya menguraikan beberapa sub-topik saja menyangkut konsep akhlak al-Ghazali, yaitu definisi akhlak, relasi akhlak dengan ilmu pengetahuan, macam-macam kebaikan dan kebahagiaan, dan cara membangun al-akhlaq al-karimah. Karenanya, konsep akhlak al-Ghazali yang dipaparkan di dalam makalah ini lebih pada akhlak terapan, khususnya di lingkungan keluarga dan madrasah atau sekolah.
 

B.    Biografi Singkat Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu Ta’us at-Thusi al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450/451 H (1058/1059 M) dan dibesarkan di Tus, kini dekat Masyad, sebuah kota kecil di Khurasan (sekarang Iran).[1] Al-Ghazali lahir dari keluarga yang cukup sederhana, bahkan bisa dikatakan miskin. Ayahnya adalah seorang pemintal wol dan menjualnya di tokonya sendiri. Sekalipun miskin, sang ayah bercita-cita tinggi. Dia berharap agar putranya, al-Ghazali kelak menjadi orang besar dan berpengetahuan luas.[2]
Al-Ghazali belajar ilmu pengetahuan di kota kelahirannya, kemudian pindah ke Nysaphur di mana ia berguru kepada ulama besar al-Harmain Abi al-Ma’ali al-Juwaini (w. 1016 M), ahli fiqh Syafi’iyah ketika itu. Setelah gurunya wafat beliau meninggalkan Nysaphur menuju kota yang bernama al-Askar, tidak jauh dari Nysaphur. Al-Ghazali bertemu dengan Wazir Nizamul Muluk di kota tersebut. Pada waktu itu, sang Wazir ditemani oleh beberapa ulama terkemuka. Pada kesempatan itu al-Ghazali sempat bertukar pikiran dengan ulama-ulama itu, dan tampaklah keunggulan dan keluasan ilmu pengetahuannya, khususnya di bidang filsafat. Keluasan di bidang filsafat itulah yang mendorong wazir untuk mengundangnya. Al-Ghazali kemudian diangkat menjadi guru besar di Madrasah Nizamul Mulk, sebuah perguruan tinggi yang mahasiswanya kebanyakan para ulama.[3]
Selain itu, penting juga untuk diuraikan tentang setting sosial, politik, dan keagamaan yang menonjol di sepanjang pertumbuhan dan perkembangan intelektual al-Ghazali. Al-Ghazali hidup pada zaman dinasti Abbasyiyah di mana saat itu sedang terjadi pertarungan semi politik antara aliran Sunni dan Syi’ah. Dua aliran ini sama-sama berusaha merebut pengaruh, baik kepada masyarakat maupun penguasa. Perebutan pengaruh ini akhirnya membawa kepada tragedi memilukan yang dikenal dengan mihnah, di antara yang menjadi “korbannya” adalah Ahmad bin Hambal dan al-Juwaini. Ini merupakan contoh kecil dari kerunyaman situasi dan kondisi saat itu. Pendek kata, al-Ghazali hidup di masa runtuhnya Islam.[4]
Hal itu terang saja berpengaruh kepada pemikiran dan sikap keagamaan al-Ghazali. Karena itu, tidak berlebihan apabila al-Ghazali disinyalir dengan penguasa, bahkan ia pernah menerima “pesanan” penguasa untuk menyusun buku yang isinya merupakan counter terhadap aliran yang merongrong penguasa, walaupun ia kemudian berjanji tidak akan dekat lagi dengan penguasa.
Al-Ghazali memenuhinya dengan `uzlah, tetapi `uzlah Al-Ghazali itu tidak identik dengan sikap pasif tanpa kerja-kerja konkret. `Uzlah yang dilakukan lebih karena ia ingin menghindar untuk sementara dalam upayanya menjernihkan pikiran dan mata hati yang sudah terkena polusi dan penyakit keagamaan. Periode ini merupakan kebangkitan ruhiyah Al-Ghazali. Anehnya, karya-karya Al-Ghazali pada periode tidak hanya menyangkut masalah pengalaman batin (inner experience) saja, tetapi juga karya-karya yang tetap menggunakan perangkat logika,[5] misalnya Qanūn al-ta’wīl dan Al-Musthafā fi ilmi al-ushl.
Selain dua karya di atas, Al-Ghazali juga menulis banyak karya lainnya, di antaranya:  (1) Ihyā Ulumuddin, kitab yang menguraikan tentang ilmu kalam, tasawuf, dan akhlak; (2) Ayyuha al-Walad, sebuah buku tentang akhlak; (3) Al-Munqizu min al-Dalāl, risalah yang menggambarkan perkembangan pikiran dan kerohanian-nya hingga ketika dia terombang-ambing antara syak dan harapan; (4) Maqāsid al-Falāsifah dan Tahāfud al-Falāsifah, kitab yang menggambarkan tentang filsafat; dan masih banyak karya-karya lainnya.[6] Pengaruh pemikiran al-Ghazali tidak hanya di kalangan muslim saja, tetapi juga di kalangan Yahudi dan Kristen, seperti Musa bin Maymun.[7]
 

C.    Definisi Akhlak

Definisi akhlak menurut al-Ghazali ini sangat penting untuk dikemukakan, sehingga bisa membantu kita untuk menelaah konsep akhlak al-Ghazali. Menurutnya,
“Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan. Jika dari sikap itu lahir perbuatan terpuji, baik menurut akal sehat maupun syara’, maka ia disebut akhlak terpuji (akhlak mahmūdah). Jika yang lahir perbuatan tercela, ia disebut akhlak tercela (akhlak madzmūmah)”.[8]
 
Definisi akhlak al-Ghazali ini sejatinya merupakan respons terhadap definisi-definisi akhlak yang dikemukakan oleh ulama-ulama ketika itu. Menurutnya, “orang-orang (baca: para ulama) memang telah membicarakan akhlak, akan tetapi sebenarnya tidak membicarakan hakikat akhlak, melainkan hanya ‘buahnya’ saja”.[9] Al-Ghazali kemudian mengutip beberapa definisi akhlak yang dikemukakan oleh para ulama, antara lain:
1.      Al-Hasan, akhlak baik adalah muka yang manis, banyak memberi, dan mencegah hal-hal yang melukai orang lain.
2.      Al-Wasithi, akhlak baik adalah kalau orang tidak bermusuhan dan tidak dimusuhi, karena sangat ma’rifat kepada Allah SWT. Suatu saat al-Wasithi juga mendefinisikan, akhlak baik ialah membuat senang orang banyak disaat senang dan susah.
3.      Syah al-Karmani, akhlak baik ialah mencegah hal-hal yang menyakiti orang lain (terutama perasaan) dan penderitaan orang mukmin.
4.      Abu Usman, akhlak baik adalah rela kepada Allah SWT.
5.      At-Tusturi, akhlak baik adalah apabila seseorang tidak salah sangka kepada Allah SWT tentang rizki, percaya kepada Allah bahwa rizkinya akan terjamin, tidak durhaka kepada Allah, dan menjaga hak-hak sesama.
6.      Ali r.a. pernah berkata: “Perangai baik itu ada pada tiga hal, yaitu: menjauhi segala yang haram, mencari yang halal, dan memberi keleluasaan kepada Allah.
7.      Al-Husam bin Manshur, akhlak baik adalah apabila engkau tidak terpengaruhi oleh kekasaran perangai orang banyak setelah engkau mengetahui mana yang benar.
8.      Abu Said al-Kharraz, budi pekerti baik ialah agar engkau tidak mempunyai tujuan selain Allah SWT.[10]
Definisi-definisi semacam inilah yang dikritik al-Ghazali sebagai definisi yang terbatas pada buah akhlak, bukan pada substansinya. Untuk memperkuat alasannya, al-Ghazali membedakan antara al-Khuluqu (budi pekerti) dan al-Khalqu (kejadian; bentuk lahir). Jadi yang dikehendaki oleh al-Khalqu meliputi “bentuk lahir”, sementara al-Khuluqu menekankan pada “bentuk batin”-nya. Al-Ghazali menambahkan bahwa al-Khuluqu menggambarkan perilaku yang meresap dalam jiwa (nafs), dan darinya memancarkan perbuatan-perbuatan yang tanpa melalui pikiran dan pertimbangan.[11]

D.    Relasi Akhlak dengan Ilmu Pengetahuan

Pusat perbincangan akhlak al-Ghazali adalah kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan sesuatu yang dicari, mathlūb, baik oleh orang-orang terdahulu maupun orang-orang modern. Kebahagiaan, kata al-Ghazali, hanya bisa dijangkau melalui sinergisitas antara pengetahuan dan perbuatan. Pengetahuan menghendaki standar yang membedakannya dari aktivitas-aktivitas lainnya, sedangkan perbuatan menghendaki kriteria yang akan menentukan secara jelas dan singkat, memunculkan peniruan secara pasif dan memiliki tujuan pasti, sehingga suatu perbuatan dapat menghasilkan kebahagiaan dan membeda-kannya dari perbuatan yang membawa pada kesengsaraan.[12]
Menurut al-Ghazali, dengan kebahagiaan kita dapat memahami bahwa kesenangan ukhrawi itu tidak palsu, penuh keberlimpahan yang tak terhingga, kesempurnaannya tidak pernah berkurang, dan kemualiaannya tidak terbandingkan sepanjang waktu. Tak seorangpun yang meyakini eksistensi kesenangan ukhrawi semacam itu yang tidak mencarinya; meskipun demikian, masih banyak orang-orang yang menolak kebahagiaan ukhrawi seperti kalangan ateis dan hedonis.[13]  
Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan yang dimaksud oleh al-Ghazali bukan kebahagiaan duniawi semata, melainkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Konsep kebahagiaan al-Ghazali ini jelas berbeda dari teleologi Aristoteles dan hedonisme. Konsep kebahagiaan aristoteles “terlalu” umum, belum ada pembagian yang konkret kebahagiaan seperti apa yang ia maksud. Sementara itu, kebahagiaan kaum hedonis hanya terbatas pada kebahagiaan fisik saja. Padahal, dalam teori Abraham Maslow, selain kebutuhan fisik, manusia juga memiliki kebutuhan spiritual, spiritual need.
Menurut al-Ghazali, manusia memang perlu menyibukkan diri dengan perbuatan, tetapi yang terpenting bagi manusia hanyalah mencari pengetahuan hakiki tentang perbuatan yang benar saja. Berangkat dari sini al-Ghazali kemudian sampai pada pembagian ilmu pengetahuan menjadi ilmu teoritis dan ilmu praktis. Ilmu pengetahuan teoritis meliputi keseluruhan ilmu filsafat yang membentuk inti silabus Yunani-Arab pada abad ke-10 dan 11 M. Subyek pembahasan ilmu ini meliputi pengetahuan tentang Tuhan, malaikat, rasul, makhluk fisik beserta cabang-cabangnya. Sementara yang termasuk ilmu praktis adalah etika yang didefinisikan sebagai pengetahuan tentang jiwa, sifat-sifat dan perilaku moralnya; ekonomi rumah tangga, dan politik atau pengaturan urusan-urusan kenegaraan.[14]
Berdasar pada pembagian tersebut, al-Ghazali menyebutkan bahwa akhlak merupakan puncak ilmu praktis. Bagi al-Ghazali, penyelidikan etika atau akhlak harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan-kekuatan, dan sifat-sifatnya. Pengetahuan ini merupakan prasyarat untuk membersihkan jiwa sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an, yaitu Asy-Syam: 9-10, “sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa itu, dalam sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya”. Pengetahuan itu juga merupakan pengenalan menuju pengenalan kepada Allah SWT, seperti yang dinyatakan dalam hadist qudsi-nya, “man `arafa nafsahu faqad `arafa rabbahu” (barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri, maka dia sungguh telah mengenal Tuhannya).[15]
Penting untuk dikemukakan juga tentang metode-metode dan alat-alat untuk memperoleh pengetahuan, berikut hubungannya dengan konsep akhlak al-Ghazali. Ibarat suatu benda, ilmu pengetahuan adalah air, dan manusia perlu mengetahui bagaimana cara “terbaik, mudah, dan cepat” untuk memperoleh ilmu itu.
Al-Ghazali mengemukakan bahwa terdapat dua metode untuk memperoleh ilmu pengetahuan, yaitu: 1) metode ta`allum insāni (pengajaran secara manusiawi) adalah metode yang lazim kita alami sehari-hari, baik di lembaga pendidikan informal, formal, maupun non-formal; dan 2) metode ta`allum rabbani (pengajaran dari Allah) adalah metode pengajaran melalui proses komunikasi antara manusia dengan Allah. Allah sebagai pemberi ilmu, sedangkan manusia sebagai penerimanya.[16]
Adapun alat-alat memperoleh ilmu pengetahuan, menurut al-Ghazali, ada tiga macam, yaitu: panca indera, akal dan hati. Ilmu yang diperoleh melalui panca indera bisa diperoleh melalui proses-proses berikut: (1) refleksi, yaitu menerima rangsangan dari luar; (2) pencerapan yaitu obyek yang diterima setelah mengalami pengolahan; (3) penggabungan unsur-unsur penginderaan, dan (4) fenomena dari luar dipantulkan secara khusus. Tingkat ini telah sampai pada tingkat abstraksi.[17]
Menurut al-Ghazali, akal manusia terbagi menjadi dua, yaitu akal teoritis dan akal praktis.[18] Keduanya bukanlah dua hal yang benar-benar berbeda, melainkan saling mengisi satu sama lain. Istilah sekarang untuk menyebut kedua akal itu barangkali otak kanan dan otak kiri. Akal praktis atau otak kanan berfungsi untuk kreativitas, sementara akal teoritis atau otak kiri berfungsi untuk menyempurnakan substansinya yang abstrak.
Akal teoritis sendiri, menurut al-Ghazali, mempunyai empat tingkatan kemampuan, yaitu: (1) al-`aql al-hayulanī, akal materiil, yakni potensi dan kemampuan untuk menangkap arti-arti murni yang tidak pernah berada dalam materi (masih belum tampak di permukaan); (2) al-`aql al-malakat, akal intelektual, yaitu akal kesanggupannya untuk berpikir abstrak secara murni sudah mulai kelihatan. Akal ini dapat menangkap pengertian-pengertian atau kaidah-kaidah umum, misalnya “keseluruhan lebih besar dari sebagian”; (3) al-`aql al-fi’il, akal aktual, yakni akal yang lebih mudah dan lebih banyak menangkap pengertian-pengertian atau kaidah-kaidah umum tersebut; dan (4) al-`aql al-mustafad, akal perolehan, yakni akal yang di dalamnya terdapat arti-arti abstrak yang selamanya dapat dikeluarkan dengan mudah sekali.[19]
Sementara itu, alat terakhir untuk memperoleh ilmu, yakni hati (qalb) memperoleh ilmu pengetahuan yang jauh lebih penting dari ilmu yang diperoleh panca indera maupun akal. Qalb bisa memperoleh ilmu melalui ilham maupun adz-dzauq (daya tangkap yang sekaligus merasakan kehadiran apa yang ditangkap.[20]
Apabila mencermati definisi akhlak dan alat-alat untuk memperoleh ilmu, tampaknya al-Ghazali menekankan lebih menekankan pada kekuatan qalb. Qalb-lah yang menentukan apakah sikap dan perbuatan seseorang bisa dimasukkan dalam kategori akhlak, sebab akhlak menurut al-Ghazali muncul tanpa melalui proses pertimbangan akal, apalagi pertimbangan panca indera. Jadi ilmu pengetahuan yang menggerakkan manusia untuk berakhlak muncul dari ilham dan adz-dzauq dalam pengertian yang lebih sederhana, bukan pengertian dunia sufistik. Pengetahuan yang melalui ilham dan adz-dzauq itulah yang seketika mendorong manusia untuk berakhlak baik, sehingga sikap dan perbuatannya mampu melintasi panca indera dan akal.

E.    Macam-macam Kebaikan dan Kebahagiaan

Sebagaimana telah disinggung di atas, al-Ghazali membagi kebahagiaan menjadi dua macam kebahagiaan utama, yaitu kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Menurutnya, kebahagiaan yang pertama adalah kebahagiaan yang sejati, sedangkan kebahagiaan yang kedua hanyalah kebahagiaan yang bersifat metaforis. Keasyikan dengan kebahagiaan akhirat bagaimanapun tidak memalingkan perhatiannya pada kebahagiaan atau kebaikan lainnya. Bahkan al-Ghazali menyatakan, apapun yang baik untuk kebaikan akhirat maka ia merupakan kebaikan juga.
Kebaikan sendiri menurut al-Ghazali bermacam-macam, antara lain: (1) kebaikan jasmaniah, seperti kesehatan, kekuatan, panjang umur, dan lain-lain; (2) kebaikan eksternal, seperti kekayaan, keluarga, kedudukan sosial, dan lain-lain; (3) kebaikan-kebaikan Tuhan, seperti hidayah, bimbingan lurus (rusyd), pengarahan (tasdid), pertolongan (ta’yid), dan lain-lain.[21]   
Selain kebaikan dan kebahagiaan, al-Ghazali juga berbicara tentang kesenangan. Menurutnya, kesenangan terbagi menjadi 3 macam kesenangan, yaitu: 1) kesenangan intelektual, seperti kesenangan akan pengetahuan dan kebijaksanaan, 2) kesenangan biologis yang dimiliki manusia dan binatang, seperti makan, minum, seks dan lain-lain, dan 3) kesenangan sosial dan politik, seperti keinginan untuk memperoleh kemenangan dan kedudukan sosial. Bagi al-Ghazali, kesenangan yang paling terhormat dan hanya dimiliki oleh manusia adalah kesenangan yang pertama. Ia merupakan kesenangan yang abadi dan dibalas dengan kehormatan abadi dalam kehidupan ini hingga akhir nanti. Tidak seperti harta atau dunia yang seringkali menjerumuskan manusia ke dalam dosa, senantiasa harus menjaganya, dan jika digunakan semakin lama akan semakin habis.[22]

F.     Cara Membangun al-Akhlaq al-Karimah

Seringkali terdengar ungkapan seseorang, “saya ini terlanjur jadi orang jahat, biarlah tetap jahat”. Ini bentuk sikap pesimis dari orang tersebut untuk merubah dirinya menjadi manusia yang baik, manusia yang diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna, ahsanu taqwim. Lebih parah lagi apabila dia merasa bahwa perangai jahatnya itu semata-mata takdir Tuhan yang tidak bisa dirubah.
Pesimisme itu, kata al-Ghazali, muncul sebagai akibat nafsu menghalang-halangi seseorang untuk membersihkan diri dan mendidik akhlaknya. Al-Ghazali berpandangan bahwa akhlak manusia bisa dirubah dan didik. Alasan al-Ghazali tampak sederhana, tetapi cukup kuat. Menurutnya, “jika akhlak manusia tidak dapat dirubah, maka pesan-pesan, petunjuk-petunjuk, dan pendidikan-pendidikan tidak ada artinya. Selain itu, mengapa Rasulullah SAW bersabda, “Perbaiki akhlak kalian”.[23] 
Al-Ghazali kemudian mengkiaskan perubahan akhlak manusia dengan  perubahan perangai asli binatang. Burung elang saja dapat dialihkan dari sifat liar kepada kejinakan, anjing dapat dirubah dari serakah menjadi “agak sopan” dan tidak memakan hasil buruan yang memang untuk pemiliknya. Demikian pula dengan kuda yang keras kepala dapat dirubah menjadi patuh dan penurut.[24] Al-Ghazali sebenarnya hendak menyatakan, jika perangai binatang saja bisa dirubah, mengapa akhlak manusia tidak bisa. Artinya, pintu masuk menuju akhlaq al-karimah terbuka lebar-lebar bagi siapa saja yang ingin memilikinya.
Kias al-Ghazali di atas tentu tidak bisa dipahami apa adanya, sebab walau bagaimanapun ada perbedaan antara manusia dan binatang, khususnya yang terkait dengan masalah kejiwaan keduanya. Menurut al-Ghazali, di dalam batin manusia terdapat empat unsur yang harus baik agar akhlak manusia bisa menjadi baik, yaitu: (1) kekuatan ilmu pengetahuan, (2) kekuatan marah (ghadab), (3) kekuatan keinginan (syahwat), dan (4) kekuatan adil (al-‘adl).[25] Perbedaan manusia dengan binatang yang paling mencolok terletak pada aspek yang pertama, yakni ilmu pengetahuan.
Kekuatan ilmu yang sebenarnya adalah manakala orang yang memilikinya dengan mudah bisa membedakan benar dan salah, hak dan batil, serta baik dan buruk. Bilamana kekuatan ilmu ini menjadi sempurna, maka darinya lahir kebijaksanaan, (al-Hikmah). Sebagaimana firman Allah SWT, “Barang siapa diberi hikmah, maka sesungguhnya dia diberi kebajikan yang besar” (Q.S. al-Baqarah/2: 269).[26]
Kekuatan ghadab akan terlihat keindahannya pada saat terkendali dan terarah menurut garis hikmah. Demikian halnya dengan kekuatan syahwat dan al-‘adl. Kekuatan syahwat akan terlihat ketika dia berada di bawah bimbingan akal dan agama, dan kekuatan al-‘adl merupakan pengendalian kekuatan syahwat dan ghadab di bawah petunjuk akal dan agama.[27]
Mengenai cara membangun manusia yang ber-akhlaq al-karimah, al-Ghazali mengibaratkannya dengan seorang dokter. Seorang dokter mengobati pasiennya sesuai penyakit yang dideritanya. Tidak mungkin ia mengobati bermacam-macam penyakit dengan satu jenis obat saja, karena kalau demikian malah bisa membunuh pasien. Demikian juga dengan seseorang yang berusaha membangun al-akhlaq al-karimah pada diri seseorang ia harus menggunakan bermacam-macam pendekatan, sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Abidin Ibnu Rusn, berkata:
“Kalau guru melihat muridnya keras kepala, sombong dan congkak, maka dia disuruh ke pasar untuk meminta-minta. Sesungguhnya sifat bangga diri dan egois itu tidak bisa hancur kecuali dengan sifat hina diri. Tiada kehinaan yang lebih besar daripada kehinaan meminta-minta. Maka dipaksakan ia melakukan hal demikian beberapa lama sehingga hancurlah sifat sombong dan egois itu….Jika guru melihat murid itu pemarah, hendaknya ia menyuruh supaya selalu bersikap sabar dan diam. Kemudian menyerahkannya kepada orang yang berperangai buruk agar mengabdi kepadanya, sehingga murid itu bisa melatih dirinya untuk bersabar”.[28]
 
Uraian al-Ghazali tentang cara membangun al-akhlaq al-karimah menunjukkan bahwa untuk menghilangkan perbuatan tercela anak adalah dengan menyuruhnya melakukan perbuatan yang sebaliknya. Hal ini dapat dimengerti karena penyakit jiwa yang berupa akhlak tercela itu sebagaimana penyakit badan atau raga.
 
 

G.    Penutup

Konsep akhlak al-Ghazali lebih menekankan pada sesuatu yang batiniah yang sangat berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, khususnya pengetahuan untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil. Puncak dari akhlak adalah kebaikan dan kebahagiaan. Kebaikan dan kebahagiaan di sini adalah kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Hanya saja kebahagiaan ukhrawi jauh lebih bernilai daripada kebahagiaan duniawi. Karena itu, semua orang harus memiliki al-akhlaq al-karimah, sehingga ia bisa menikmati kebahagiaan tersebut, sebab Nabi Muhammad diutus oleh Allah memang untuk memperbaiki akhlak manusia. Artinya, al-akhlaq al-karimah bisa dimiliki oleh siapa saja dengan cara melatih diri sesuai dengan ajaran-ajaran agama.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin Riwayat Hidup al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Al-Ghazali, Ihyā Ulumuddin, III, Beirut: Dar al-Fikr, tt
________, Keajaiban Hati, terj. Nurchikmah, Jakarta: Tintamas Indonesia, 1984
Fakhry, Madjid, Etika Dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan UMS Surakarta, 1996
Ghafur, Waryono Abdul, Kristologi Islam Telaah Kritis Kitab Rad al-Jamil Karya al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Nurchalish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997
Madjidi, Busyairi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997
Mubarak, Zaki, Al-Akhlaq `Inda al-Ghazali, Kairo: Asy-Syu`ub, tt
Musthofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Rusn, Abidin Ibnu, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Solikin, M., Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman, Bandung: Pustaka Setia, 2003



[1] Waryono Abdul Ghafur, Kristologi Islam Telaah Kritis Kitab Rad al-Jamil Karya al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 25 Sementara itu, Sa’id Basil dalam Manhaj al-Bahtsi An al-Ma’rifah Inda al-Ghazali menambah kata “Asy-Syafi’i” setelah at-Thusi. Ini mengindikasikan bahwa al-Ghazali termasuk salah satu ulama yang mengikuti madzhab Syafi’i. Lihat, M. Solikin, Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 111 
[2] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 29
[3] Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997), hlm. 79-80
[4] Baca Waryono, op.cit., hlm. 25-62 
[5] Zaki Mubarak, Al-Akhlāq `Inda Al-Ghazali, (Kairo, Al-Syu’ub, tt), hlm. 59-60
[6] ibid, hlm. 81-82
[7] Nurchalish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 90
[8] Al-Ghazali, Ihyā Ulumuddin, III, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 109
[9] Al-Ghazali, Keajaiban Hati, terj. Nurchikmah, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1984), hlm. 140
[10] Ibid, hlm. 140
[11] Ibid, hlm. 141 Bandingkan, Musthofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 11
[12] Madjid Fakhry, Etika dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & UMS, 1996), hlm.126
[13] Ibid, hlm. 126-7
[14] Ibid, hlm. 127-8
[15] Ibid, hlm. 128
[16] M. Solikin, Tokoh-tokoh…, op.cit., hlm. 121
[17] Ibid, hlm. 123
[18] Ibid, hlm. 126
[19] Ibid, hlm. 127
[20] Ibid, hlm. 129
[21] Fakry, Etika…,op.cit, hlm. 135
[22] Ibid, hlm. 137
[23] Al-Ghazali, Keajaiban …, op.cit., hlm. 147
[24] Ibid, hlm. 147
[25] Madjidi, Konsep…, op.cit., hlm. 89
[26] Ibid, hlm. 89-90
[27] Ibid, hlm. 90
[28] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 100-101

Komentar

  1. How to get titanium white octane - Titanium Arts
    Learn about titanium metal art from TITI, where the metal is made titanium color and crafted titanium water bottle and used. Learn titanium wheels about titanium stone art styles nano titanium and how columbia titanium pants to get

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian, Macam, dan Tujuan Ulumul Qur’an

MAKALAH TAREKAT (THORIQOH)

Biografi Raden Patah Pendiri Kesultanan Demak