SANTRI AND PONDOK PESANTREN




SANTRI DAN PESANTREN
Pesantren dan tujuan Pendidikan

Sampai hari ini Kalangan pesantren tentu merasa bersyukur, bahkan berhak untuk bangga, karena meningkatnya perhatian masyarakat luas pada dunia pendidikan dan lembaga pesantren. Dari sebuah lembaga Pesantren, yang sudah bertahun-tahun percaya dan memilih untuk konsisten terhadap keyakinan dalam berpandangan mengenai pendidikan, di tengah  modernitas pendidikan hari ini, meskipun klaim ortodok sering kali mampir dan menuding bahwa pendidikan yang di terapkan di sana ketinggalan jaman, belum lagi persoalan  akan kalaim  eklusifitas pesantren menjadi rubric pembicaraan atas terbelenggunya kaum perempuan yang ruangnya terbatasi opleh metode pendidikan di dalamya, bila di kaitkan dengan persoalan gender, lebih parahnya lagi dalam beberapa tahun terakhir ini berita dan opini terorisme, baik di media cetak maupun media elektronik, pondok pesantren di klaim sebagai sarang teroris, tempat dimana para teroris digembleng dan dididik.dan masih banyak lagi tudingan-tudingan lainyayang hampir-hampir tidak diakui eksistensi dan peran positifnya,.namun hal itu tidak menyurutkan pandangan masyarakat kita untuk tidak percaya kepada pesantren,malah orang pun mulai membicarakan kemungkinan pesantren menjadi pola pendidikan nasional Ketika sampai detik ini pesantren masih tetap di percaya di percaya seksistensinya dalam penanganan anak didiknya yang berlabel Santri di negeri ini, hal ini di kuatkan oleh pendapat bahwa Basis kekuatan eksistensial pesantren, menurut Azyumardi Azra, pada satu pihak terletak pada corak dan pada paham keislaman masyarakat Jawa itu sendiri, pada pihak lain, basis eksistensial peasantren terletak pula pada integrasi lembaga ini ke dalam struktur-struktur sosial yang ada.[1]

Pesantren merupakan lembaga keagamaan yang identik dengan  pendalaman agama yang kurikulumnya berkisar pada penguasaan tiga ilmu dasar : tauhid,{teologi}, fiqh {epistimologi-aksiologi},dan tasawuf {intuisi-spiritual} Pondok atau Pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik (santri) untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin)[2]
Sedangkan Kata “Pesantren” berasal dari kata “santri” dengan awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Atau pengertian lain mengatakan bahwa pesantren adalah sekolah berasrama untuk mempelajari agama Islam.[3][3] Sumber lain menjelaskan pula bahwa pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik.[4][4] Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren bisa disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini digabung menjadi pondok pesantren. Secara esensial, semua istilah ini mengandung makna yang sama, kecuali sedikit perbedaan. Asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari dapat dipandang sebagai pembeda antara pondok dan pesantren. Kata “Pondok” berasal dari bahasa Arab yang berarti funduqartinya tempat menginap (asrama). Dinamakan demikian karena pondok merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya[5][5]
M. Arifin menyatakan bahwa, penggunaan gabungan kedua istilah secara integral yakni pondok danpesantren menjadi pondok pesantren lebih mengakomodasi karakter keduanya. Pondok pesantren menurut M. Arifin :
Suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.[6]
Kuntowijoyo menanggapi penamaan pondok pesantren ini dalam komentarnya bahwa, sebenarnya penggunaan gabungan kedua istilah secara integral, yakni pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren dianggap kurang jami’māni (singkat-padat). Selagi pengertiannya dapat diwakili istilah yang lebih singkat, maka istilah pesantren lebih tepat digunakan untuk menggantikan pondok dan pondok pesantren. Lembaga Research Islam (Pesantren luhur) mendefinisikan pesantren adalah suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya.[7]
Sementara A. Rasydianah mendefinisikan bahwa, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh masyarakat dibawah pimpinan seorang kiai melalui jalur pendidikan non formal berupa pembelajaran kitab kuning. Selain itu, banyak juga yang menyelenggarakan pendidikan keterampilan serta pendidikan formal, baik madrasah maupun sekolah umum.
Sementara menurut Zamakhsyari, bahwa sekurang-kurangnya harus ada lima elemen untuk dapat disebut pesantren, yaitu ada pondok, mesjid, kiai, santri, dan pengajian kitab Islam klasik yang sering disebut kitab kuning. Zamakhsyari juga mencoba mengklasifikasi pesantren dilihat dari jumlah santrinya. Menurutnya, pesantren yang santrinya kurang dari 1000 dan pengaruhnya hanya pada tingkat kabupaten, disebut sebagai pesantren kecil; santri antara 1000-2000 dan pengaruhnya pada beberapa kabupaten disebut sebagai pesantren menengah; bila santrinya lebih dari 2000 dan pengaruhnya tersebar pada tingkat beberapa kabupaten dan propinsi dapat digolongkan sebagai pesantren besar. [8]
Dari uraian di atas cukup jelas bahwa pesantren sebagai basisi keilmuan dan pendidikan  di rasa cukup jelas dan gamblang dari segi makna,tujuan dan eksisitensinya sebagai lembaga pendidikan yang berpotensi cukup luas di masa dating dalam menentukan sebuah ide dan gagasan dalam pendidikan baik di level regional,nasional ataupun internasional. Hal ini dapat di buktikan dari system dan tujuan pendidikan  yang berlaku di pesantren, adanya kurikulum dalam mendidik, sehingga pemahaman tentang tujuan pendidikan pesantren merupakan pemahaman yang bersifat analitis. Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan penjelasan –penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai sepiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikapdan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati.
Setiap santri diajar agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (`ibadah) kepada Tuhan. [9]
Pesantren sendiri mempunyai berbagai macam khas di dalamnya, secara husus setiap satu dengan yang lain mempunya has sendiri-sendiri, selain posisinya pesantren sebagai lembaga pendidikan agama islam tradisional, tetapi juga mencakup pengertian sebuah komunitas orang muslim atau kaum muslimin yang memiliki identitas ,symbol dan tradisi budaya sebagai subkultur islam di jawa,[10][10] sepert pesantren yang tetap memegang adat istiadatnya , di beberapa pesantren salaf di jawa, di pesantren tersebut nuansa adat jawa cukup kental  di  tradisikan di dalamnya yang secar umum kita menyebutnya pesantren tradisional ataupun salaf..
Kehususan lain juga tidak kalah uniknya , bila Dapat di katakan bahwa pesantren tidak mengalami ketertinggalan dalam kemajuan  pendidikan, pesantren tetap bergerak maju dan selelu mengam,bil inisiatif dalam pengembangan keilmuan, sehingga pesantren mengikuti perkembangan zaman dari pemikiran ataupun keilmuan yang terus bergesekan dengan zaman modern, dari ssana pesantren mengalami modernisasi dari segi metodik pendidikanya.
Seperti byang di ungkapkan Nurchalish Majid “bagi Pesantren yang memiliki kepentingan mendasar untuk menanamkan tradisi keilmuan Islam terhadap santri, perlu untuk dirumuskan ulang tujuan pendidikan dan pengajarannya. Jika tidak demikian, maka akan terjadi kesenjangan. Hal ini terjadi, menurutnya  dikarenakan belum adanya kesiapan bagi pesantren untuk memahami pola-pola budaya Barat, apalagi mengimbangi, merespon saja terkadang mengalami kesulitan. Kepentingan tersebut adalah dalam rangka merealisasikan dua visi utamanya yaitu ;
Pertama, untuk menyebarluaskan ajaran tentang universalitas Islam ke seluruh pelosok Nusantara yang sangat pluralis. Hal ini oleh para Wali telah membuktikan dan berhasil menginternalisasikan nilai-nilai Islam dalam lingkungan masyarakat, tanpa meninggalkan jati diri pesantren.
Kedua, untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral dengan “Amar ma’ruf nahi munkar”.  Ini berarti pesantren menjadi agen perubahan dan selalu melakukan pembebasan masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan politik, kemiskinan ilmu pengetahuan dan bahkan kemiskinan ekonomi.[11]

EXSISITENSI  MAKNA SANTRI PESANTREN DI BALIK LABEL
Sebutan Santri
Istilah santri sebagai label bagi anak didik di pesantren tidak hanya sekedar sebutan ataupun label saja, namun Dalam praktik bahasa sehari-hari, istilah ‘santri’ pun memiliki devariasi yang banyak. Artinya, pengertian atau penyebutan kata santri masih suka-suka alias menyisakan pertanyaan yang lebih jauh. Santri apa, yang mana dan bagaimana? Namun secara umum ada dua sebutan dalam pesantren, yaitu santri sebagai sebutan bagi laki-laki, dan santri wati untuk sebutan bagi perempuan. Santri / satri wati berarti orang yang mendalami agama islam, atau orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh, atau bisa juga dengan orang yang shaleh [12]. Dalam penelitian Clifford Geertz berpendapat, kata santri mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti sempit santri adalah seorang murid satu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Oleh sebab itu, perkataan pesantren diambil dari perkataan santri yang berarti tempat untuk santri. Dalam arti luas dan umum santri adalah bagian penduduk Jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, bersembahyang, pergi ke mesjid dan berbagai aktifitas lainnya.[13]
Label santri bukan sekedar label ataupun pangkat yang menempel pada sebutan seseorang saja, namun label tersebut harus memenuhi syarat akan pantasnya seseorang mendapatkan sandangan sebagai santri, karena dari sisi perilaku, santri haruslah mempunyai etika dan cara pandang berbeda dalam melihat berbagai persoalan,, mempunyai keilmuan dan wawasan keagamaan yang kokoh dan kuat dalam menciptakan keteladanan ataupun Mauidzah yang berarti nasehat[14] dalam masyarakat, Rasyid Ridla mengartikan mauidzah sebagai berikut.
”Mauidzah adalah nasehat peringatan atas kebaikan dan kebenaran dengan jalan apa yang dapat menyentuh hanti dan membangkitkannya untuk mengamalkan”[15]
Metode mauidzah, harus mengandung tiga unsur, yakni : a). Uraian tentang kebaikan dan kebenaran yang harus dilakukan oleh seseorang, dalam hal ini santi, misalnya tentang sopan santun, harus berjamaah maupun kerajinan dalam beramal; b). Motivasi dalam melakukan kebaikan; c). Peringatan tentang dosa atau bahaya yang bakal muncul dari adanya larangan bagi dirinya sendiri maupun orang lain[16],.
Begitu juga dalam pandangan keilmuan seorang santri  mampu mengkaji alqur’an dan hadist dan memahaminya secara maksimal, kaitnya juga makna santri itu sendiri sebagai seorang ilmuan agama yang melek ataupun mampu melihat realitas dengan kaca mata keilmuanya yang berarti juga kata “santri”, menjadi sebuah makna tersendiri selain sebagai label, dalam pandangan Nurcholish Madjid dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf[17], artinya mampu membaca keilmuan yang di ajarkan dalam alqur’an dan hadist yang tidak lepas dari firman alloh dalam surat al alaq “ bacalah! Artinya:
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.3. Bacalah, dan Tuhanmu-lah yang Maha Mulia.4. Yang mengajar (manusia) pena.5. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.(qs.Al-Alaq)
Di sisi lain, Zamkhsyari Dhofier berpendapat bahwa, kata “santri” dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Atau secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[18][18] Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, yaitu dari kata “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap[19]
Dari pengertian yang terjelaskan tersebut bahwa santri mempunyai filosofis makna yang begitu luas dan dalam dari pengertianya saja, belum kepada arti luasnya yang patutlah sebenarnya label santri merupakan sebuah label pangkat yang mulya yang erat kaitanya dengan  kyai sebagai pengasunya.
Santri yang berarti juga seorang muslim dan muslimin yaitu golongan orang islam yang yang menjalankan ibadah keagamanya secara kaffah sesuai dengan ajaran syari’at islam yang sesungguhnya,[20] tidak berbeda juga dengan pangkat kyai atau ulama yang sama-sama menjadi hamba alloh.
Kenapa pesantren samapu hari ini eksis? Sebuah pertanyaan yang sebenarnya cukup menggugat selain pertanyaan “apa yang menarik dari pesantren” bila di lihat dari kontek pendidikanya yang bertahan dengan eksisitensi kelulusanya yang secara frontal belum terfasilitasi akademik keilmuanya  ketika outputnya masih sulit bersentuhan dengan dunia kerja?
Dalam karya sederhana ini penulis akan lebih menyempurnakan dalam  kaitanya pembahasan santri dan pesantren dalam konsep pendidikan  Semoga penulisan ini rampung dan di ridhoi Alloh swt.



[1] Islamil SM dkk (Ed.), Dinamika Pesantren Dan Madrasah, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2002, hlm. 171
[2]Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi Kaum Muda NU Merobek Tradisi, (Jogjakarta; Ar-Ruzz Media, 2007), 56-57.
[3]Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sul-Sel”, dalam Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 1983), h, 329
[4]Ibid., h. 328
[5]Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. II; Jakarta Mizan), h.44
[6]M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 240
[7]Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), h. 247
[8] Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. II; Jakarta Mizan), h.44
[9] Nur Cholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Paramadina, Jakarta, 1997,  hlm. 3
[10] Islam jawa,h.65
[11]Nur Cholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Paramadina, Jakarta, 1997,  hlm. 3-5
[12] kamus besar bahasa Indonesia 2007 : 803).
[13]Lihat Clifford Geertz, “Abangan Santri; Priyayi dalam Masyarakat Jawa”, diterjemahkan oleh Aswab Mahasun (Cet. II; Jakarta: Dunia Pusataka Jaya, 1983), h. 268, dikutip oleh Yasmadi, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), h. 61
[14] Warson, Kamus Al-Munawwir, h. 1568
[15] Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid II, (Mesir; Maktabah al-Qahirah, tt), h. 404
[16] Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren : solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta; ITTIQA PRESS : 2001), h. 57-58
[17] Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. II; Jakarta Mizan), h. 18
[18] M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 240
[19] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), h. 247
[20] Islam jawa h.65

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian, Macam, dan Tujuan Ulumul Qur’an

MAKALAH TAREKAT (THORIQOH)

Biografi Raden Patah Pendiri Kesultanan Demak