PESANTREN
PESANTREN
Foto, Santri sedang menerima Hadiah
Pesantren,
pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah sebuah
asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan
belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai dan
mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam
kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan
kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk
dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang
berlaku.[1].
Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian.
Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri,
sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari
bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang
berarti asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah
pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang
atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau.[2]
Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama,
umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama
Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa
Arab oleh Ulama Abad pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok
(asrama) dalam pesantren tersebut. [3]
Sejarah Umum
Umumnya,
suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat,
kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya.[butuh rujukan] Setelah
semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk
mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai.[butuh rujukan] Pada zaman
dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang
terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan
dimengerti oleh santri.[butuh rujukan] Kyai saat
itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para
santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana.[butuh rujukan] Mereka
menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar
rumah kyai.[butuh rujukan] Semakin
banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan.[butuh rujukan] Para santri
selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi
terkenal ke mana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada
zaman Walisongo.[4]
Pondok
Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan
Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan
catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara
telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudian dikenal
dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel-
salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat
studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama Dayah di Aceh) dan
Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah
menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.[5]
Definisi Pesantren
Etimologi
Istilah pesantren
berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata "santri" berarti
murid dalam Bahasa Jawa.[butuh rujukan] Istilah pondok
berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berarti penginapan.[butuh rujukan] Khusus di Aceh, pesantren disebut
juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai.[butuh rujukan] Untuk
mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk
mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok.[butuh rujukan] Tujuan para
santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar
hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.[butuh rujukan]
Pendapat
lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri.[butuh rujukan] Kata santri
berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti
orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan
Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan.[butuh rujukan] Istilah
santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa
istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti
orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci
agama Hindu.[butuh rujukan] Terkadang
juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku
kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat
pendidikan manusia baik-baik.[6]
Elemen Dasar Sebuah Pesantren
1. Pondok
Sebuah pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama
pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di
bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan Kyai [7] Dengan istilah pondok pesantren dimaksudkan sebagai
suatu bentuk pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Pondok
atau asrama merupakan tempat yang sudah disediakan untuk kegiatan bagi para
santri. Adanya pondok ini banyak menunjang segala kegiatan yang ada. Hal ini
didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok yang lain biasanya berdekatan
sehingga memudahkan untuk komunikasi antara Kyai dan santri, dan antara satu
santri dengan santri yang lain.
Dengan
demikian akan tercipta situasi yang komunikatif di samping adanya hubungan
timbal balik antara Kyai dan santri, dan antara santri dengan santri. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsari Dhofir, bahwa adanya sikap timbal balik
antara Kyai dan santri di mana para santri menganggap Kyai seolah-olah menjadi
bapaknya sendiri, sedangkan santri dianggap Kyai sebagai titipan Tuhan yang
harus senantiasa dilindungi [8]
Sikap
timbal balik tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling menyayangi satu
sama lain, sehingga mudah bagi Kyai dan ustaz untuk membimbing dan mengawasi
anak didiknya atau santri. Segala sesuatu yang dihadapi oleh santri dapat
dimonitor langsung oleh Kyai dan ustaz, sehingga dapat membantu memberikan
pemecahan ataupun pengarahan yang cepat terhadap santri, mengurai masalah yang
dihadapi para santri.
Keadaan
pondok pada masa kolonial sangat berbeda dengan keberadaan pondok sekarang.
Hurgronje menggambarkan keadaan pondok pada masa kolonial (dalam bukunya Imron
Arifin, Kepemimpinan Kyai) yaitu: “Pondok terdiri dari sebuah gedung berbentuk
persegi, biasanya dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang agak makmur
tiangnya terdiri dari kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok
dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri yang
kebanyakan tidak bersepatu itu dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.
Pondok
yang sederhana hanya terdiri dari ruangan yang besar yang didiami bersama.
Terdapat juga pondok yang agaknya sempurna di mana didapati sebuah gang
(lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat
kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar
itu orang-orang terpaksa harus membungkuk, jendelanya kecil-kecil dan memakai
terali. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu
terdapat tikar pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari bambu atau dari
kayu, di atasnya terletak beberapa buah kitab”[9]
Dewasa
ini keberadaan pondok pesantren sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa
sehingga komponen-komponen yang dimaksudkan makin lama makin bertambah dan
dilengkapi sarana dan prasarananya.
Dalam
sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah mengalami beberapa fase
perkembangan, termasuk dibukanya pondok khusus perempuan. Dengan perkembangan
tersebut, terdapat pondok perempuan dan pondok laki-laki. Sehingga pesantren
yang tergolong besar dapat menerima santri laki-laki dan santri perempuan,
dengan memilahkan pondok-pondok berdasarkan jenis kelamin dengan peraturan yang
ketat.
2. Masjid
Masjid
merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap
sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam
praktik ibadah lima waktu, khotbah dan salat Jumat dan pengajaran kitab-kitab
Islam klasik. Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Kedudukan
masjid sebagai sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan
manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata
lain kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid
Quba’ didirikan di dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tetap terpancar
dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan
Islam” [10]
Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara
terus tradisi tersebut, bahkan pada zaman sekarang di daerah umat Islam begitu
terpengaruh oleh kehidupan Barat, masih ditemui beberapa ulama dengan penuh
pengabdian mengajar kepada para santri di masjid-masjid serta memberi wejangan
dan anjuran kepada murid-muridnya.
Di Jawa
biasanya seorang Kyai yang mengembangkan sebuah pesantren pertama-tama dengan
mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini pun biasanya diambil atas
perintah Kyainya yang telah menilai bahwa ia sanggup memimpin sebuah pesantren.
Selanjutnya Kyai tersebut akan mengajar murid-muridnya (para santri) di masjid,
sehingga masjid merupakan elemen yang sangat penting dari pesantren.
3. Pengajaran Kitab-kitab Klasik
Sejak
tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya
untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang
setia terhadap paham Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik
merupakan bagian integral dari nilai dan paham pesantren yang tidak dapat
dipisah-pisahkan.
Penyebutan
kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab
kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin
penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau
disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi
ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak
dicetak dengan kertas putih.
Pengajaran
kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustaz biasanya dengan
menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam
klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofir dapat digolongkan
ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2)
Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6)
Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh
(sejarah) dan Balaghah” [11]
Kitab-kitab
Islam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di pesantren.
Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan Kyai di pesantren. Kitab-kitab
Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai ajaran Islam, sedangkan Kyai
merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi lain keharusan Kyai di
samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena
kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik.
Sehubungan
dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran yang
terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang
sah dan relevan. Sah artinya ajaran itu diyakini bersumber pada kitab Allah
Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan artinya ajaran-ajaran
itu masih tetap cocok dan berguna kini atau nanti” [12]
Dengan
demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren
guna mencetak alumnus yang menguasai pengetahuan tentang Islam bahkan
diharapkan di antaranya dapat menjadi Kyai.
4. Santri
Santri
merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren.
Biasanya para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah
disediakan, namun ada pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah
disediakan tersebut yang biasa disebut dengan santri kalong sebagaimana yang
telah penulis kemukakan pada pembahasan di depan.
Menurut Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri
yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran
kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari
dua kelompok santri yaitu: - Santri Mukim yaitu santri atau murid-murid yang
berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di lingkungan pesantren. - Santri
Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang mereka
tidak menetap di lingkungan kompleks peantren tetapi setelah mengikuti
pelajaran mereka pulang [13]
Dalam
menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri
keperluan sehari-hari dan mereka mendapat fasilitas yang sama antara santri
yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan menaati peraturan yang ditetapkan
di dalam pesantren tersebut dan apabila ada pelanggaran akan dikenakan sanksi
sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
5. Kyai
Istilah Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan
dari bahasa Jawa [14] Kata Kyai mempunyai makna yang agung, keramat, dan
dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan kepada seorang
laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kyai juga
diberikan untuk benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan
tombak. Namun pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan
untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah
membaktikan hidupnya untuk Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam
ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.
Kyai
berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam tata kehidupan pesantren, sekaligus
sebagai pemimpin pesantren. Dalam kedudukan ini nilai kepesantrenannya banyak
tergantung pada kepribadian Kyai sebagai suri teladan dan sekaligus pemegang
kebijaksanaan mutlak dalam tata nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin
mengatakan bahwa peran kyai sangat besar sekali dalam bidang penanganan iman,
bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan akhlak, pendidikan
beramal, dan memimpin serta menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh santri dan
masyarakat. Dan dalam hal pemikiran kyai lebih banyak berupa terbentuknya pola
berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu untuk memimpin sesuai dengan
latar belakang kepribadian kyai [15]
Dari
pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa peran Kyai sangat menentukan
keberhasilan pesantren yang diasuhnya. Demikianlah beberapa uraian tentang
elemen-elemen umum pesantren, yang pada dasarnya merupakan syarat dan gambaran
kelengkapan elemen sebuah pondok pesantren yang terklasifikasi asli meskipun
tidak menutup kemungkinan berkembang atau bertambah seiring dengan perkembangan
zaman dan kebutuhan masyarakat.
6. Peranan
Pesantren
pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam.[butuh rujukan] Namun,
dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang
tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejalan
materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horisontal (kesadaran sosial).[butuh rujukan] Pesantren
kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based
curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh
persoalan kikian masyarakat (society-based curriculum).[butuh rujukan] Dengan
demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga
keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup
yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya.[16]
Pondok
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya
Indonesia.[butuh rujukan] Keberadaan
Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi
sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum
kedatangan Islam.[butuh rujukan] Sebagai
lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren
diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa.[17]
Banyak
pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang
rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih
tinggi.[butuh rujukan] Meski
begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang
sejenis, pesantren modern jauh lebih murah.[butuh rujukan] Organisasi
massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul
Ulama (NU).[butuh rujukan] Ormas Islam
lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.[butuh rujukan]
7. Jenis pesantren
Seiring perkembangan zaman, serta tuntutan
masyarakat atas kebutuhan pendidikan Umum, kini banyak pesantren yang menyediakan menu pendidikan
umum dalam pesantren. kemudian muncul istilah pesantren
Salaf dan pesantren Modern,
pesantren Salaf adalah pesantren yang murni mengajarkan Pendidikan Agama
sedangkan Pesantren Modern
menggunakan sistem pengajaran pendidikan umum atau Kurikulum.
a. Pesantren Salaf
Pesantren
yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren
salaf.[butuh rujukan] Pola
tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri bekerja
untuk kyai mereka - bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi
empang (kolam ikan), dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya mereka
diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut.[butuh rujukan] Sebagian
besar pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya
dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali.[butuh rujukan] Para
santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh
dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di
waktu malam.[butuh rujukan] Pada waktu
siang, para santri pergi ke sekolah umum untuk belajar ilmu formal, pada waktu
sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustaz mereka untuk
memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an.[butuh rujukan]
b. Pesantren Modern
Ada pula
pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, di mana persentase ajarannya lebih
banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum (matematika, fisika,
dan lainnya).[butuh rujukan] Ini sering
disebut dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap
menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan
pengendalian diri.[butuh rujukan] Pada
pesantren dengan materi ajar campuran antara pendidikan ilmu formal dan ilmu
agama Islam, para santri belajar seperti di sekolah umum atau madrasah.[butuh rujukan] Pesantren
campuran untuk tingkat SMP
kadang-kadang juga dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan untuk tingkat SMA dengan nama Madrasah
Aliyah.[butuh rujukan] Namun,
perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan
santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak.[butuh rujukan] Ada juga
jenis pesantren semimodern yang masih mempertahankan kesalafannya dan
memasukkan kurikulum modern di pesantren tersebut.
Modernisasi Pesantren
Sebab-sebab terjadinya modernisasi Pesantren di
antaranya:
- Munculnya wancana penolakan taqlid dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah sebagai isu sentral yang mulai ditadaruskan sejak tahun 1900. Maka sejak saat itu perdebatan antara kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemuka sebagai wancana publik.
- Kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda.
- Terbitnya kesadaran kalangan Muslim untuk memperbaharui organisasi Islam mereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial ekonomi.
- Dorongan kaum Muslim untuk memperbarui sistem pendidikan Islam. Salah satu dari keempat faktor tersebut dalam pandangan Karel A. Steenbrink, yang sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam untuk melakukan perubahan Islam di Indonesia.[18]
Tokoh Nasional
Beberapa alumnus pesantren yang terkenal antara
lain:
Referensi
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S, Jakarta, 1983, hlm.18.
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik
Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 5
Sudjono Prasodjo, Profil Pesantren,
(Jakarta: LP3S, 1982), hlm. 6.
Wahab, Rochidin. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Alfabeta,CV, 2004) hal. 153,154
Hielmy, Irfan. Wancana Islam
(ciamis:Pusat Informasi Pesantren,2000), hal. 120
Fatah, H Rohadi Abdul, Taufik, M
Tata, Bisri, Abdul Mukti. Rekontruksi Pesantren Masa Depan, (Jakarta
Utara: PT. Listafariska Putra, 2005), hal. 11
Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
Zamakhsyari Dhofir, 1982: 49
Imron Arifin, 1993: 6
Zamakhsari Dhofir, 1982: 49
Zamakhsyari Dhofir, 1982: 50
Moh. Hasyim Munif, 1989: 25
Zamakhsari Dhofir, 1982: 51
Manfred Ziemek, 1986 130
M. Habib Chirzin, 1983: 94
HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom. Intelektualisme
Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal. 1
Haedari, H.Amin. Transformasi
Pesantren, (Jakarta: Media Nusantara, 2007), hal. 3
Majalah Tajdid (ciamis:Lembaga Penelitian dan
Pengembangan, 2009), hal. 358
Komentar
Posting Komentar